PERSOALAN EKSISTENSI DAN HAKIKAT ILMU


Suparlan Suhartono, Ph.D, adalah nama seorang-orang yang selalu akrab ditelinga siapa dsaja yang gandrung dengan filsafat ilmu.
Tulisannya telah berjimbun, dan diterbitkan oleh bebera penerbit. Gudang ini, beberapa bulan yang lalu juga telah menghadirkan tulisan Suprlan Suharto, Ph.D, Buku yang membentangkan Hakikat Ilmu, lewat buku Filsafat Ilmu Pengetahuan terbitan: Ar. Ruzz Jl. Anggrek No.97 A Sambilegi Lor RT 04. RW.57 Mangunharjo, Depok Sleman, Yogyakarta Telp. [0274] 7482086. HP. 081.642.72234. E-mail: arruzzwacana@yahoo.com
Kini Gudang kembali mengundang kehadiran buku-buku karyanya., utamanya yang bersinggungan dengan filsafat ilmu.
Data Buku
JUDUL: Filsafat Ilmu Pengetahuan [Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu Pengetahuan]
PENULIS: uparlan Suhartono, Ph.D
PENERBIT: Ar-Ruzz Madia. Modinan Sambilegi 194 Manguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta. Telp. [0274] 4332223. E-mail: marketingarruzz@yahoo.co.id
ISBN: 979-25-4484-4
CETAKAN: I Juni 2008 [Cetakan lama telah diposting di gudang ini]
TEBAL: 180 hlm, 13,5 x 19 cm
SARING[Sadapan Ringkas]
Obyek Ilmu Pengetahuan:
Obyek studi Ilmu Pengetahuan selalu berada di dalam sepuluh kategori. Kesemuanya itu dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu subtansi atau diri, aksidensia mutlak berupa kuantitas dan klualitas, aksidensia relative berupa hubungan [relation], tindakan [action], derita [passion], ruang [space], waktu [time], keadaan [situation], dan kebiasaan [habit].

Kehadiran Filsafat Ilmu Pengetahuan di tengah-tengah pluralitas ilmu pengetahuan dan teknologi ini menuntut suatu pengembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi secara interdisipliner atau multidisipliner, dan diamalkan secara etis dan tidak bebas nilai. Upaya pengembangan dan pengamalan ilmu pengetahuan dan teknologi demikian itu terarah kepada dua sasaran pokok, yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dan menjaga kelestarian lingkungan hidup dengan sumber daya alamnya.
Melihat "yang ada':
Buku ini membentangkan tentang yang ada sebagai berikut.
Dengan mengambil pemikiran bapak metafisika yang menyatakan bahwa setiap “yang ada” berada dalam suatu cara disebut 10 [sepuluh] kategori. Adapun kesepuluh kategori itu dapat dijelaskan kembali secara beba sebaga berikut:

  1. Setiap hal pasti berada di dalam “substance” au dirinya sendiri. Artinya, setiap hal pasti berada sebagai dirinya sendiri, bukan yang lain. Seorang pasti berada sebagai manusia, bukan mahklukm lain.
  2. Setiap hal pasti berada di dalam “quality” atau sifatnya sendiri. Keberadaan seorang sebagai manusia ditentukan oleh sifat khas kejiwaan cipta, rasa dan karsa kemanusiannya.
  3. Setiap hal pasti berada di dalam “quantity” atau bentuknya sendiri. Keberadaan seseorang sebagai manusia ditentukan oleh bentuk keragaman khas manusia.
  4. Setiap hal pasti berada di dalam “relation” atau hubungan dengan hal lain. Artinya, setiap hal tidak bisa berada dengan sendirinya. Keberadaannya serba terhubungkan dengan yang lain secara fungsional. Keberadaan manusia selalu ditentukan sepenuhnya oleh hubungan dengan sesama manusia dan alam
  5. Setiap hal pasti berada di dalam “action” atau tindakan tertentu. Artinya, terhadap yang lain sesuatu hal memerankan diri dalam predikat tertentu. “air” sebagai sumber kehidupan. “manusia” memerankan diri sebagai pemelihara kelangsungan hidupnya.
  6. Setiap hal pasti berada di dalam suatu “passion” atau derita tertentu atas tindakannya. Karena sebagai sumber kehidupan, air menajdi 0byek kehidupan. Atas perannya sebagai pemelihara kelangsungan kehidupan, maka manusia harus bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan
  7. Setiap hal pasti berada di dalam suatu “space” atau ruang tertentu. Dalam hubungannya dengan yang lain menurut peran masing-masing, pasti berjalan di dalam tempat tertentu. Menurut tempatnya, air bisa menjadi air sumur, air sungai, air selokan, dan sebagainya
  8. Setiap hal pasti berada di dalam suatu “tempo” atau waktu tertentu. Dengan keberadaannya di dalam ruang tertentu, maka sesuatu pasti juga berlangsung dalam waktu tertentu. Dalam waktu lain, air sumur menjadi air minum, dan sebagainya
  9. Setiap hal pasti berada di dalam “situs” atau keadaan tertentu, Kelangsungan keberadaan dalam tempat dan waktu tertentu itu berarti sesuatu hal berada dalam keadaan tertentu. Air bisa berarti sesuatu hal berada dalam keadaan tertentu. Air bisa dalam keadaan bersih pada sumbernya, lalu mendi kotor di muara sungai
  10. Setiap hal poasti berada di dalam “habitus” atau kebiasaan tertentu. Artinya, setiap jenis sesuatu selalu berada dalam habiutatnya sendiri-sendiri. Habitat air adalah tatanan lingkunagn yang seimbang, habitat “ikan” ada;ah air, habitat manusia adalah kreativitas untuk menyesuaikan diri, begitu seterusnya.

[ Catatan khusus, untuk pemanfaatan bagi pemikiran epistemic sebagai landasan studi filsafat pengetahuan]
Pertama: Pentingnya pengetahuan, Yaitu mengetahui secara benar tentang batas-batas pengetahuan, agar tidak melakukan penyelidikan dan pemikiran-pemikiran mengenai sesuatu hal yang pada akhirnya menjadi sia-sia karena tidak akan bisa diketahui. Tetapi, apakah pengehatuan hanya terbatas pada kemampuan pengalaman indra dan pemikiran saja?
Kedua, makna pengetahuan. Jika dikatakan bahwa seorang mempunyai pengetahuan, berarti ia mempunyai kepastian tentang sesuatu hal, dan bahwa apa yang dipikirkan di dalam pernyataan-pernyataan adalah sungguh-sungguh merupakan halnya sendiri. Tetapi, kenyataan membuktikan bahwa hamper tidak ada yang dapat dipastikan dalam kehidupan ini.
Ketiga, metode memperoleh pengetahuan, menentukan sifat kebenaran pengetahuan, yang terdiri Dari:

  1. Pengathaun empiric [empirism]. Mendapatkan pengetahuan melalui pengalaman indrawi. Sedangkan akal pikiran dipandang sebagai penampung segala hal yang dialami
  2. Metode Rasional [rationalism]. Pengetahuan bersumber dari akal pikiran. Pengalaman dipandang sebagai perangsang bagi akal pikiran. Kebenaran bukan pada diri sesuatu, malainkan pada idea.
  3. Metode fenomenologik [Fenomenologism I.Kant). Bahwa apa yang dapat diketahui tentang sesuatu hal itu hanyalah gejala-gejala saja, bukan halnya sendiri. Adapun gejala-gejala itu ada pada hubungan yang niscaya [pasti] antara sebab akibat.
  4. Metdode ilmiah, Memperoleh pengetahuan yang benar dan obyektif melalui cara ini, seperti ,melakukan pendekatan [approach] untuk menentukan lingkupan studi [scope] yang sering disebut obyek forma, untuk menetukan metode [method] yang cocok, apakah analisis ataukah sintesis, dan menetukan system kerja yang tepat, apakah terbuka ataukah tertutup, semuanya menjadi penting.

Ranah Kajian Filsafat

Sekarang ini, mungkin sudah saatnya kita mempelajari apa yang disebut dengan ranah atau wilayah kajian filsafat. Ini menjadi penting dipelajari agar kita memiliki suatu gambaran yang cukup tentang apa-apa yang akan dipelajari dalam filsafat. Ya, ini mirip dengan peta jalan yang kita gunakan sebagai panduan untuk bepergian agar kita sampai pada tujuan dengan cepat dan selamat. Dalam konteks belajar kita, memahami ranah kajian filsafat akan memberikan suatu arah yang pasti untuk dapat memilih cabang filsafat yang sesuai, atau siapa filsuf yang cocok, atau gaya filosofi apa yang disukai oleh kita secara pribadi.

Berdasarkan pengamatan saya pribadi, ranah kajian filsafat dapat dipilah menjadi tiga wilayah pokok kajian. Pertama mengenai "dunia" di mana kita tinggal. Setelah itu, pemahaman atas "diri" manusia sendiri. Yang terakhir, ini adalah pemahaman mengenai wilayah "transenden" (transcendence).  

Dunia yang kita tinggali menjadi objek pertama perhatian renungan filosofis itu karena kita biasanya selalu punya perhatian yang lebih atas sesuatu yang ada di luar kita. Misalnya, ada ungkapan yang mengatakan bahwa "rumput tetangga itu lebih hijau daripada rumput yang ada di halaman rumah kita". Hal ini terjadi atas dasar pengaruh rasa kagum akan sesuatu yang kita lihat, dengar, dan rasakan. Namun demikian, setelah kita sadar dengan apa yang kita miliki atau sadar akan diri kita sendiri, biasanya kita akan mencoba untuk instropeksi atau meninjau diri kita sendiri. Pertanyaan seperti apakah kita dan secara umum pertanyaan siapa manusia itu akan terbersit.

Ketika pertanyaan serupa ini muncul, pertanyaan tentang masalah "penciptaan" akan menghampiri. Karena ada dunia dan manusia, tentu ada yang menciptakannya. Inilah yang disebut sebagai masalah transenden dalam filsafat. Kenapa disebut dengan transenden? Ya, ini sebenarnya karena sesuatu yang berhubungan dengan penciptaan dunia dan manusia itu adalah sesuatu yang berada di luar pengetahuan manusia. Sementara itu, masalah yang berhubungan dengan manusia dan dunia seringkali dinamakan dengan "immanen" (immanence), serta dilawankan dengan pengertian transenden. Disebut immanen karena ini berhubungan langsung dengan pengalaman manusia itu sendiri. (Apa ga ada istilah yang lebih mudah dipahami? ^_^ )

Lalu, bagaimana masalah immanen dan transenden ini harus dipahami dalam kaitannya dengan cabang kajian filsafat?

Dari pemahaman mengenai dunia, kita sebenarnya sedang bergerak memasuki cabang filsafat yang disebut dengan Kosmologi (Cosmology). Berasal dari kata Yunani, kosmos (yang berarti dunia atau juga teratur), Kosmologi adalah cabang filsafat yang mengkaji masalah asal muasal alam semesta beserta proses terciptanya. Berdasar pada kajian mengenai dunia inilah juga lahir ilmu-ilmu kealaman, yaitu: Astronomi, Geologi, Fisika, Kimia, dan Biologi.

Pada kajian mengenai manusia, kita akan menemukan hubungan dengan berbagai macam cabang filsafat. Ada kajian Filsafat Manusia (Philosophical Antropology), Filsafat Pengetahuan (Epistemology), Filsafat Nilai (Axiology), Filsafat Moral atau Etika (Ethics), Filsafat Sosial (Social Philosophy), Filsafat Akal (Philosophy of Mind), Logika (Logics), Filsafat Ilmu (Philosophy of Sciences), hingga Filsafat Bahasa (Philosophy of Language). Dari kajian mengenai manusia pula lahir ilmu-ilmu kemanusiaan (humanity sciences) dan ilmu-ilmu sosial (social sciences).

Sedangkan pada kajian atas masalah transendensi, ini secara khusus dikaji dalam cabang filsafat yang disebut dengan Metafisika (Metaphysics). Namun demikian, kita jangan salah paham dulu dengan istilah Metafisika. Walaupun Metafisika itu mengkaji sesuatu yang berada di luar wilayah fisik atau melampaui wilayah fisik, ini tidak kemudian mengandaikan bahwa Metafisika berurusan dengan klenik ataupun magis. Sebab, Metafisika itu memiliki fokus pembicaraan tentang masalah-masalah "ada" (being) dan "kenyataan" (reality). Selain Metafisika, masih dalam masalah transenden, ada cabang filsafat yang mengkaji tentang masalah Pencipta atau Tuhan, yaitu dalam Filsafat Ketuhanan (Theological Philosophy).

Ternyata, dari tiga wilayah pokok kajian ini, kita dapat melihat bahwa sedemikian luasnya kajian filsafat itu. Oleh karenanya, sebagian besar filsuf mengatakan bahwa pokok kajian filsafat hanya dibatasi oleh masalah "tiada" (nothing). "Segala sesuatu yang ada" itu adalah pokok kajian utama dari filsafat. Namun, secara khusus, cabang filsafat yang mengkaji masalah "ada" dan "tiada" pun telah muncul. Inilah yang disebut dengan Ontologi (Ontology). (Aduh mak, luas banget tuh wilayahnya. Mudah-mudahan ga nyasar nih ...! ;-) ) 

Demikian, uraian singkat mengenai ranah atau wilayah kajian filsafat. Pada posting selanjutnya, kita akan mempelajari cabang kajian filsafatnya satu-satu. Supaya Anda mendapatkan gambaran tentang ini secara lebih baik, Anda sebaiknya membaca referensi yang saya sebutkan di bawah ini. Paling tidak, dengan melakukan ini, Anda dapat mengecek apakah ada uraian-uraian saya yang kurang dipahami atau malah menemukan adanya kekeliruan. Selamat membaca referensinya ya! (Wah, ko malah ngantuk bacanya? Bangun-bangun ...! Minum kopi dulu ya? Hehe...)

Referensi:

1. Harry Hammersma, 1998, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, Cet. XVI, Kanisius, Yogyakarta.

2. Milton D. Hunnex, 1986, Chronological and Thematic Charts of Philosophies and Philosophers, Academie Books, Michigan.


FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN : Mikhael Dua

Buku ini dahsyatnya menyamai Buku "Ilmu Dalam Perspektif" Karya Yuyun Suriasumantri", bahasanya mudah dicerna, mengalir sehingga tak perlu menguras pikir. Lahirnya buku ini sebagian atas perunungan penulis, bahwa saat ini kurikulum pembelajaran di tanah air acapkali ditebas libas oleh kepentingan pasar. Ilmu seakan tereduksi untuk kepentingan yang pragmatis. Hadirnya filsaf ilmu tentunya ingin membuat barrier terhadap kepentingan-kepentingan semu, menuju kepentingan yang realistis berpandangan ke depan. Tangan dingin penulis, Mikhael Dua ingin berkontribusi atas masalah-masalah tersebut, bahkan telah diawali dengan menulis sebuah buku dengan judul Ilmu Pengetahuan,Sebuah Tinjauan Filosofis, yang ditulis bersama Sonny Keraf.
Intinya menyentuh persoalan plus minusnya padangan para filsuf, seperti Karl Raimund Popper, Carl Gustav Hempel, bahkan paradigma Ilmu Pengetahuan buah kreativitas Thomas S. Kuhn dibahas tuntas.
Data Buku :
JUDUL : Filsafat Ilmu Pengetahuan-Telaah analitis, Dinamis, dan Dialetis
PENULIS: Mikhael Dua
PENERBIT: Ledalero--Seminari Tinggi LedaleroMaumere 86152. Tel. [0382]--22898. E-mail: penerbitledalero@yahoo.com. website: http://www.penerbitledalero.org/
ISBN: 979-9447-26-7
CETAKAN: I--2007.
TEBAL: xvi + 248 hlm, 140 x 210 mm

Cara Belajar Filsafat (2)

Mungkin Anda sudah membaca tulisan saya yang berjudul Cara Belajar Filsafat (1). Dalam tulisan itu dijelaskan cara saya belajar filsafat untuk pertama kalinya dan perjalanan saya ketika belajar filsafat di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hingga akhirnya lulus di tahun 2003. Walaupun belajar dengan serabutan, saya masih bisa belajar filsafat dengan baik karena tertolong dengan perkuliahan yang saya ikuti di fakultas. Namun, dalam bayangan saya, seandainya saya tidak pernah menjadi mahasiswa filsafat, mungkin ceritanya akan lain. Saya mungkin belum tentu bisa belajar filsafat dengan baik.

Dengan pikiran serupa ini, muncul gagasan dalam benak saya untuk mencari tahu cara belajar filsafat yang baik dengan lebih mudah dan sederhana. Mudah dengan arti kita dapat mempelajari filsafat tanpa kepayahan, dan sederhana yang berarti kita akan dapat belajar filsafat tanpa harus dipusingkan oleh teori-teori filsafat yang njelimet atau susah dicerna. Walaupun demikian, gagasan ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru, karena mungkin ada banyak orang yang sudah menerapkan gagasan ini lebih baik dari saya. 

Contohnya adalah Jostein Gaarder, seorang pengajar filsafat dari Oslo, Norwegia, yang mengarang buku "Sofies verden" (Sophie's World) sebagai wahana baru untuk menjelaskan sejarah filsafat melalui novel. Versi Indonesia untuk buku ini telah diterjemahkan oleh penerbit Mizan dengan judul Dunia Sophie. Selain pada Gaarder, saya juga berhutang budi pada mas Antariksa, salah seorang senior saya di Fakultas Filsafat UGM. Dia yang mengajarkan pada saya, walaupun tidak secara langsung, untuk belajar filsafat secara having fun atau menyenangkan. Itu karena dia adalah orang yang tidak mau dipusingkan oleh teori-teori filsafat yang njelimet. (Mas Antariksa ini aktif mengelola jurnal Kunci yang mengangkat tema Cultural Studies semenjak 1999 hingga sekarang)

Gaarder memberikan contoh buat saya untuk mempelajari filsafat dengan enak dan mas Antariksa mengajarkan pada saya untuk tidak selalu berpaku pada teori filsafat yang njelimet. Namun, tidak ada yang mengajarkan pada saya suatu cara untuk belajar filsafat dengan mudah. Meskipun begitu, saya tidak pernah merasa segan untuk mencari cara belajar filsafat dengan mudah. Ini diperuntukkan bukan hanya bagi saya secara pribadi, tetapi juga bagi Anda yang senang belajar filsafat. 

Untuk mendapatkan solusinya, saya akan mencoba menganalisis terlebih dahulu cara belajar saya yang telah lalu.

Ketika saya belajar filsafat untuk yang pertama kali, saya ini sebenarnya menggunakan cara learn by try (belajar dengan coba-coba). Ini adalah cara belajar yang umum dipakai oleh setiap orang ketika ia dihadapkan pada masalah atau persoalan yang belum ia kenal sepenuhnya. Bahkan, pada riset yang paling canggih sekalipun di bidang ilmu dan teknologi, cara ini masih dipakai. Terutama untuk menemukan sesuatu yang baru dan riset itu tidak pernah dilakukan sebelumnya. 

Walaupun demikian, tetap ada kelemahan dalam cara ini. Sebab, cara belajar seperti ini lebih banyak menghabiskan waktu, tenaga, dan tentu saja biaya. Padahal, kita tahu, setiap orang memiliki waktu, tenaga, dan harta yang terbatas. Dalam kaitannya dengan masalah ini, belajar filsafat seringkali dipandang sebagai sesuatu yang mahal dan mewah. Itu karena dalam pikiran orang awam, filsuf itu dibayar hanya untuk "melamun". (Wah, enak dung? ^_^)

Oleh karena itu, kita sebaiknya memilih cara belajar yang lain. Cara belajar lainnya yang mungkin dapat kita lakukan ada dua macam, yaitu (1) learn by experience dan (2) learn by guidance. Cara belajar pertama difokuskan pada bagaimana caranya kita mempelajari sesuatu dengan berdasarkan pada pengalaman yang kita miliki. Sedangkan pada yang kedua, cara belajarnya terfokus pada petunjuk yang akan mengarahkan kita pada tujuan pembelajaran.

Pada cara belajar yang pertama, belajar filsafat akan menjadi lebih mudah dipahami bila masalah filsafatnya dikaitkan dan dijelaskan dengan apa yang kita alami sehari-hari. Contoh untuk uraian ini sudah saya terapkan ketika saya menjelaskan kenapa kita harus belajar filsafat dalam posting Mengapa Belajar Filsafat? dan posting yang berjudul Mau ke mana? yang menjelaskan arah kita dalam berfilsafat.

Sedangkan pada cara belajar yang kedua, inilah yang ditempuh ketika seseorang belajar filsafat di perguruan tinggi. Namun, model belajar filsafat di perguruan tinggi menjadi tidak efektif ketika dilaksanakan dalam kelas yang besar dan terdiri dari banyak orang. Belajar filsafat dengan model learn by guidance hanya akan berlaku efektif bila diterapkan pada hubungan Guru dan Murid satu-satu. Artinya, murid ini dibimbing khusus secara pribadi oleh seorang Guru. Ini mirip ketika seorang mahasiswa mengajukan skripsi sebagai syarat untuk ujian akhir yang dibantu oleh Dosen Pembimbing. (Kalau dosennya bukan ahli di bidang yang dipilih ma mahasiswa gimana ya? Hehe...) 

Dengan memperhatikan model-model belajar yang telah disebutkan, memang masing-masing cara belajar memiliki kelebihan dan kekurangannya. Namun, yang terpenting sekarang ini, bagaimana menggunakan tiga model belajar tersebut secara komplementer (saling melengkapi) ketika kita belajar filsafat. Oleh karena kita menginginkan belajar filsafat dengan mudah dan sederhana, maka tentu saja ada cara yang efektif dalam menggunakannya. Berikut ini, ada beberapa tip yang bisa Anda gunakan.

  1. Untuk tema-tema yang pokok dan mungkin relatif sulit dicerna, khususnya yang berkaitan dengan tema Filsafat Sistematis dan Filsafat Regional, Anda sebaiknya menggunakan cara belajar belajar filsafat dengan model learn by guidance. Sebab, cabang filsafat seperti Logika, Ontologi, Aksiologi, serta Epistemologi tidak setiap orang suka dan menguasainya. Apalagi cabang yang sangat khusus dan berhubungan dengan ilmu lain, misalnya Filsafat Hukum dan Filsafat Matematika, orang yang belajar ini sedikitnya dituntut untuk menguasai masalah hukum dan matematika. Terus, berkaitan dengan Filsafat Regional, learn by guidance akan sangat membantu ketika Anda harus membaca teks-teks orisinal dalam bahasa-bahasa asing (seperti bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Arab, Hindi, Cina), maupun bahasa-bahasa nusantara (seperti bahasa Melayu, Batak, Sunda, Jawa, dan bahasa lainnya).

  2. Untuk tema Filsafat Historis, Anda bisa menggunakan model learn by try karena ini relatif mudah dicerna dan dapat dilakukan secara otodidak. Hal ini dapat terlaksana karena teks sejarah biasanya ditulis dalam gaya naratif atau cerita. Referensi yang paling baik untuk ini adalah buku Jostein Gaarder tersebut di muka yang berjudul Dunia Sophie dari penerbit Mizan.

  3. Untuk berfilsafat secara mandiri, model yang paling cocok adalah model learn by experience. Di sini, usahakan Anda temukan kaitan yang paling dekat antara suatu masalah filsafat dengan pengalaman sehari-hari.

 
Nah, mungkin ini yang bisa saya sampaikan untuk penjelasan mengenai cara belajar filsafat yang mudah sekarang ini. Mudah-mudahan ini bisa membantu Anda belajar filsafat secara lebih baik. ;-)


Cara Belajar Filsafat (1)

Salam ... !!!

Selamat bertemu lagi dengan saya di sini. Pertama-tama saya mau ucapin maaf yang sebesar-besarnya karena postingnya telat lagi. Kedua, saya ingin mengucapkan selamat Idul Fitri 1429H dan semoga segala sesuatunya menjadi hikmah dan berkah buat Anda semua. Ketiga, saya lupa lagi. Hehe ...

Oh iya, sesuai judulnya, sekarang ini kita akan membahas cara belajar filsafat. Ini merupakan materi yang gampang-gampang susah untuk dilaksanakan. Sebab, cara belajar sangat bergantung pada karakter masing-masing pribadi yang amat khas. Ada pribadi yang suka belajar dengan tekun dan rutin. Ada yang senang belajar sambil bersantai dan mendengarkan musik. Ada pula yang hanya belajar pada saat mau ujian, alias belajar dengan model SKS (Sistem Kebut Semalam). (Kebanyakan orang Indonesia kayaknya lebih suka dengan yang terakhir. ;-) )

Nah, dalam kaitannya dengan cara belajar filsafat, karakter seperti ini akan sangat mempengaruhi pola belajar filsafat. Walaupun demikian, tetap saja ada pola umum yang dapat kita pakai dalam mempelajari filsafat. Di sini, saya akan mengetengahkan pola umum yang paling mudah dilaksanakan. Cara belajar yang dimaksud akan dijelaskan melalui contoh ketika saya belajar filsafat pertama kali.

Ketika Anda mempelajari filsafat pertama kali, tentunya kebingungan akan hadir dan terus membayangi Anda. Anda biasanya akan dibingungkan oleh masalah-masalah: saya harus belajar dari mana, saya harus belajar apa; apakah saya harus belajar dengan sistematik atau tidak; apakah saya harus mempelajari seluruh materi filsafat atau hanya sebagian saja; apakah ada manfaatnya kalau belajar filsafat apa tidak; apakah saya akan 'gila' atau menjadi 'tidak waras' kalau belajar filsafat apa tidak; dan yang terakhir, mungkinkah saya belajar filsafat apa tidak.

Semua kebingungan atau kekhawatiran yang muncul ini adalah wajar dan saya juga mengalaminya. Pada saat situasi ini muncul, dulu saya memilih untuk belajar filsafat dengan cara mempelajari sejarahnya. Artinya, saya mulai masuk dalam dunia filsafat dengan mengawalinya pada materi sejarah filsafat. Walaupun cukup efektif buat saya ketika itu, namun saya dihadapkan pada pengembaraan nan panjang dan melelahkan. 

Bagaimana tidak, saya dengan tidak sadar 'dipaksa' untuk mempelajari sejarah filsafat yang terentang selama kurang lebih dari 2500 tahun. Saya larut dan kemudian mempelajari secara otodidak sejarah filsafat Yunani, Islam, India, Cina, Barat di masa Abad Pertengahan, Abad Pencerahan, Abad XVI hingga Abad XX. Walaupun tidak sepenuhnya otodidak karena saya mendapatkan arahan dari mata kuliah sejarah filsafat yang diberikan di Fakultas, saya tetap merasa tidak puas dengan uraian-uraian dosen saya tersebut. Pernah satu waktu saya bertanya dalam mata kuliah Sejarah Filsafat Islam tentang teori Emanasi yang diungkapkan Al-Farabi mengikuti uraian Emanasi Plotinus, dosen saya tersebut malah bilang untuk tidak 'ngeyel'. 

Saya bertanya-tanya dalam hati. Saya kan kuliah untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban. Kenapa malah saya tidak boleh bertanya tentang masalah itu? Walaupun agak nggrundel dalam hati, saya tetap ikuti kuliah itu hingga akhir. Saya mendapatkan nilai A untuk mata kuliah Sejarah Filsafat Islam. Tetapi saya tidak mendapatkan pengetahuan apapun kecuali pengenalan terhadap tokoh-tokoh Filsafat Islam beserta pengenalan atas teori-teori yang diungkapkannya. Akhirnya, saya mulai mendapatkan sedikit gambaran yang cukup baik ketika memutuskan untuk membaca buku biografi Ibn Sina secara otodidak tanpa terlalu peduli dengan buku teks yang dianjurkan. 

Inilah gambaran sederhana cara saya belajar filsafat untuk pertama kali. Meskipun begitu, ketika saya mulai masuk dalam ranah kajian filsafat secara lebih jauh, saya kembali dihadapkan pada kebingungan untuk memilih cabang filsafat apa yang akan saya telaah lebih serius. Apakah Metafisika atau Ontologi, Aksiologi, Etika, Epistemologi, Filsafat Ilmu, atau cabang lainnya. Saya mencoba memulainya dari Metafisika. Namun, karena kekurangan referensi yang membahas bidang ini, saya urung mempelajarinya secara serius. 

Titik terang untuk mempelajari cabang filsafat mulai muncul lagi-lagi karena pengembaraan saya dalam sejarah filsafat. Kali ini saya terpikat dengan tokoh yang bernama Ludwig Wittgenstein. Ia adalah seorang filsuf Jerman-Inggris yang menekuni bidang Mesin Pesawat Terbang di awal kuliah, namun berbelot menekuni filsafat karena dorongan untuk mempelajari Matematika secara lebih mendalam. Melalui Wittgenstein, saya didorong untuk menekuni Filsafat Bahasa hingga akhirnya bergerak ke bidang Semiotika.

Ketika saya asyik dengan semua pembelajaran itu, tak terasa saya harus menyiapkan skripsi sebagai ujian terakhir mempelajari filsafat di kampus pada tahun 1999. Lagi-lagi saya bingung harus mengambil tema apa yang sesuai dengan minat filosofis saya waktu itu. Saya siapkan judul mulai dari tema Logika, teori "Public Sphere"-nya Jurgen Habermas, hingga kajian mengenai Wittgenstein itu sendiri. Namun demikian, saya malah tertambat hati dengan tema Cyberspace setelah membeli buku Cyberspace for Beginner terbitan Mizan dari tukang buku loakan di jalan yang membelah kampus IKIP Yogyakarta (sekarang UNY) ke arah jalan Gejayan.

Keputusan pun dibuat dan akhirnya saya mengajukan skripsi filsafat dengan tema Cyberspace. Teman-teman di kampus pun rada-rada kaget. Apa hubungannya Cyberspace dengan filsafat? Mereka mengajukan pertanyaan itu sering kali. Bagaimana pun juga itu adalah sesuatu yang lumrah karena di tahun 1999 Internet belum begitu menjamur dan hanya sedikit orang yang paham akan Internet. Tetapi, saya nekat. Saya paksa diri saya untuk belajar sesuatu yang baru untuk menemukan sisi filosofisnya. Akhirnya, melalui perjuangan selama empat tahun, jadilah skripsi saya. (Duh, lama banget bikinnya! Termasuk orang yang menyandang gelar MA (Mahasiswa Abadi) ya? ... Iya nih, gak salah tuh. Hehe...)

Duh, ko jadi cerita ya? Maaf, tapi inilah cara saya belajar filsafat. Jadi, saya terpaksa memaparkannya panjang lebar untuk menjelaskan pola belajar filsafat yang saya miliki. Terkesan serabutan dan tidak efektif memang, meski mudah untuk dilaksanakan. Oleh karena alasan ini, saya akan mencoba untuk menyusun cara belajar filsafat yang lebih efisien dan efektif pada posting selanjutnya. Demikian, tulisan saya untuk cara belajar filsafat bagian pertama. Mohon kritik dan sarannya!