RISALAH FILSAFAT EMPIRISME DAVID HUME


Seri Petualangan Filsafat, karya T.Z. Lavine
Kita jadi diingatkan kembali tentang APOSTERIORI, bahwa sebuah ilmu lahir setalah pengamatan. "Post" berarti "setelah" artinya setelah melewati penginderaan sebuah ilmu lahir, pengalaman empiri itu faktual, dengan ekstrem dikatakan bahwa orang yang mengunggul-unggulkan rasio adalah seorang-orang yang hidup di awang-awang. Platonis katanya.
David Hume, adalah orang yang membangkitkan citarasa keilmuan melalui ranah kekuatan pengamatan indrawi.
Empirisme memandang pengamatan pancaindera sebagai satu-satunya sumber pengetahuan terpercaya. Empirisme muncul pada awal tahun-tahun abad XVII.
Kendati buku ini nampaknya membentangkan sepak terjang Filsut David Hume, namun isi buku ini adalah sebuah esensi filsafat empirisme.
Data buku
JUDUL: David Hume--Risalah Filsafat Empirisme
PENULIS: T.Z. LAvine
PENERBIT: Jendela. Jl. Gejayan Gg. Buntu II/5A Yogyakarta 55281./ Telp. 0274-518886.
ISBN: 979-95978-126-3
TEBAL: xii + 87, 12 x 18 cm
Catatan: Diterjemahkan dari: From Socrates to Satre: The Philosophic Quest. New York: Bantam Books, Inc, 1984]

KEBANGKITAN EMPIRISME INGGRIS

Buku ini membentangkan bahwa empirisme berkembang di Inggris. Nama-nama besar filsuf yang mencermati empirisme sebagian besar berkebangsaan Inggris. Inilah yang mengindikasikan bahwa titik tertinggi kemajuan empirisme berada di Inggris dan sekitarnya. Skotlandia, dan Irlandia disebut juga sebagai temapt berkembangkan empirisme, yakni ketika abad XVII dan XVIII. Penganut empirisme Inggris klasik dan karya utamanya dalam teori pengetahuan antara lain:

  1. John Locke [1632-1704]--Essay Concerning Human Understanding [Esai yang berkenaan dengan pemahaman manusia]--1690
  2. George Berkeley [1685-1753] dalam A Treatise Concerning the Principle of Human Knowledge [Risalah mengenai Prinsip-prinsip Pengetahuan Manusia]--1710
  3. David Hume[1711-1776]--A Traetise of Human Nature [Risalaqh Mengenai Sifat Alami Manusia] --1738-1740, selanjutnya direvisi menjadi Enquiry Concerning Human Understanding [Penelitian atas pemahaman Manusia]--1751

[Catatan buku ini menohok penganut Rane Descartes, dan selanjutnya menanamkan kebencian dalam bentuk "Anti Cartesianisme. Buku ini juga menyediakan Glosarium untuk memudahkan khalayak bacanya. Hume dalam buku ini menegasdi Gagasan Jiwa dan Diri, bahkan terungkap secara jelas filosofi Hume mengenai agama. Kritik tajam Hume yang keras juga diungkap jelas, seperti:

  • Kritik Keras Hume atas Bukti Rasional Mengenai Tuhan
  • Kritik Keras Hume atas Deisme
  • Kritik Keras Hume atas Keyakinan pada Mujizat]

APAKAH FILSAFAT DAN FILSAFAT ILMU ?


B. Arief Sidharta membuat manfaat dalam kehidupannya, serta mengisi keunikan diri dengan aktivitas yang jarang dilakukan orang lain pada umumnya. Selalu dalam kehidupnya dijalani dengan penuh pemikiran yang reflektif, sebagai bukti ketika memperingati ulang tahunnya yang ke 70, tetap membuat pancaran yang bermanfaat kepada sesamanya. Ulang tahunnya ditandai dengan meluncurnya sebuah buku filsafat.
Buku yang dinganu dari kempulan tulisan ini berkutak dengan masalah filsafat, dari empat tulisan, terdapat tiga tulisan yang mengkhususkan pada filsafat ilmu. Tiga tulisan itu ialah:

  1. Apakah filsafat ilmu itu?
  2. Filsafat Ilmu
  3. Konsep Ilmu
Apakah filsafat ilmu itu ?
Filsafat ilmu dikupas dengan tahapan rincian sebagai berikut:

  • Tujuan Ilmu [The goal of science]
  • Penjelasan ilmiah [Scientific exolanation]
  • Teori dan hukum ilmiah [ Scientific theories and law]
  • Teori observasi [Theory and observasion]
  • Penilaian dan demarkasi [Assessment and demarcation]
  • Kesatuan ilmu [The unity of Science]
FILSAFAT ILMU

  • Apakah ilmu itu?
  • Metode ilmu
  • Sikaplmiah
  • Klasifikasi ilmu pengetahuan
  • Masalah bebas nilai dan ilmu
  • Pertanggungjawaban ilmu dan etika
KONSEP ILMU:

  • Konsep ilmu dalam filsafat ilmu dewasa ini
  • Konstruksi ilmu
  • Jenis-jenis ilmu
  • Kedudukan ilmu hukum.
Data Buku
JUDUL : Apakah Filsafat dan Filsafat Ilmu
PENULIS : B.Arief Sidharta [Editor]
PENERBIT: Pustaka Sutra.
ISBN-13: 978-979-16086-4-0
CETAKAN: I- April 2008
TEBAL: 114 hlm.

SADAPAN RINGKAS:
[halaman 80]

Bebera ciri pokok yang terdapat dari pengertian ilmu yakni:
  1. Ilmu itu bersifat rasional, artinya proses pemikiran yang berlangsung dalam ilmu itu harus dan hanya tunduk pada hukum-hukum logika
  2. Ilmu itu bersifat empirikal, artinya kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya dapat ditundukkan pada pemeriksaan atau verivikasi pencaindera manusia. Dalam hubungan ini perlu dikemukakan, bahwa ilmu harus menerima prasuposisi-prasuposisi atau kebenaran-kebenaran tertentu, sebagai titik tolak atau dasar, yang dapat atau tidak perlu diverifikasikan oleh pancaindera manusia. Prasuposisi-prasuposisi ini diperoleh dari filsafat, misalnya kaidah-kaidah hukum logika dan hukum kausalitas
  3. Ilmu bersifat sistematikal, yakni cara kerjanya runtut berdasarkan patokan tertentu [metodikal] yang secara rasional dapat dipertanggungjawabkan, dan hasilnya berupa fakta-fakta yang relevan dalam bidang yang ditelaahnya harus disusun dalam suatu kebulatan yang konsisten
  4. Ilmu bersifat umum dan terbuka, artinya harus dapat dipelajari oleh tiap orang; jadi tidak bersifat esoterik [terbatas hanya bagi sekolompok orang tertentu]
  5. Ilmu bersifat akumulatif, yakni kebenaran diperoleh selalu dapat dijadikan dasar untuk memperoleh kebenaran baru.

Tiga perangkat Kriteria:
[Halaman 105]

Menurut Harold Berman, keberadaan ilmu harus memenuhi tiga perangkat kreteria, antara lain yakni:

  1. Kriteria Metodologikal
  2. Kriteria Nilai
  3. Kriteria Sosiologikal
Kriteria Metodologika:
Dalam peritilah metodologi, ilmu dalam arti modern dapat didefiniskan sebagai berikut:
  • seperangkat pengethuan yang terintegrasi
  • yang di dalamnya kejadian-kejadian atau gejala khusu secara sistematis dijelaskan
  • dalam peristilahan asas-asas dan kebenaran umum
  • pengetahuan tentang gejala, asas dan kebenaran umum [hukum] itu diproleh sebagai kombinasi:
  • Hipotesis-verifiksi
  • sejauh dimunkinkan : eksperimen
  • metode ilmiah penelitian dan sistematisasi, emskipun memiliki ciri-ciri umum yang sama, anmun tidak sama untuk semua ilmu, melainkan harus disesuaikan pada jenis-jenis khas kejadian atau gejala yang menjadi pokok telaah ilmu yang bersangkutan
KRITERIA NILAI:
Ilmu dalam kegaitannya harus mengacu primis-primis nilai :

  • obyektivitas ilmiah
  • bebas pamrih [disinterestedness]
  • skeptisisme terorganisasi
  • toleransi terhadap kekeliruan
  • keterbukaan terhadap kebenaran ilmiah baru
KRITERIA SOSIOLOGIKAL:
  • Pembentukan komunitas ilmuwan, dalam rangka tanggung jawab kolektif berkenaan dengan pelaksanaan penelitian, pelatihan/pendidikan anggota baru, berbagi pengetahuan ilmiah [publikasi], dan otensitas pencapaian ilmiah di dalam dan di luar disiplin
  • Penautan berbagai disiplin ilmiah dalam komuniats penstudi
  • Status sosial yang menyandang hak istimewa komuniats para ilmuawan, misalnya kebebasab pengajaran dan penelitian, dan tanggung njawab memberikan pelayanan demi ilmu itu sendiri, metodenya, nilai-nilai dan fungsi sosialnya


[disadap hanya sebagian]

PINTU MASUK DUNIA FILSAFAT: Dr. HARRY HAMERSA


Mempelajari filsafat orang mengatakan susah, mendengar kata filsafat gudah gelisah, kini tentunya berbeda. Banyak kunci masuk filsafat dengan mudah. Studi filsafat seakan berangkat wisata ke sebuah pantai indah yang belum terjamah, orang boleh memberikan makna apa saja. Tidak ada batas yang hitam dan putih, yang ada hanya tajamnya sebuah refleksi. Memang filsafat sering dimitoskan sebagai materi kuliah yang sangat sulit, dan setiap orang harus memiliki talenta belajar yang khusus. Itu semua tidak selalu benar. Siapa saja tanpa mengenal perbedaan, apakah bertalenta, atau bukan, mempelajarai filsafat itu mudah. Karl popper pernah memotivasi kita melalui kata-kata. Semua orang adalah filsuf, termasuk kita semua.
Data Buku
JUDUL: Pintu Masuk Dunia Filsafat
PENULIS: Dr. Harry Hamersma
PENERBIT: KANISIUS. Jl. Cempaka 9 Deresan, Yogyakarta 55281 Kotak Pos 1125/YK. Yogyakarta 55281. Website: www.kanisiusmedia.com. E-mail: office@kanisiusmedia.com
ISBN: 978-979-413-188-6
CETAKAN: Edisi pertama terbit tahun 1981 [hingga cetakan ke - 23]
Edisi kedua tahun 2008
TEBAL : 80 halaman

Sampul belakang buku bertutur. Jika Anda ingin mencicipi dan berkenalan sejenak dengan ilmu pengetahuan yang disebut filsafat, yang kon adalah "ibu segala ilmu", buku ini adalah pintu masuk yang tepat. Dengan cara bertutur yang padat dan enak dibaca. Harry Hamersma akan menutun Anda dalam sebuah wista singkat intelektual yang penuh daya pikat.
Yang dibahas buku ini antara lain:
  • Filsafat dan ilmu pengetahuan
  • Ikhtisar sejara filsafat
  • Cabang-cabang filsafat
  • Mengapa belajar filsafat
  • Tugas filsafat menurut filsuf-filsuf
  • Petunjuk-petunjuk studi filsafat
Buku ini membedakan antara filsafat dan ilmu pengetahuan sebagai berikut
FILSAFAT:
Filsafat adalah pengethuan metodis , sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan

ILMU PENGETAHUAN:
Ilmu pengetahuan adalah pengethuan metodis, sistematis, dan koheren [bertalian] tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan

MENGAPA ORANG BERFILSAFAT
Ada tiga hal yang mendorong manusia untuk berfilsafat: keharanan, kesangsian dan kesadaran keterbatasan.

Keheranan:
Banyak filsuf menunjuk rasa heran [Yunani : thaumasia] sebagai asal filsafat. Plato, misalnya, mengatakan: "MAta kita memberi pengamatan bintang-bintang, matahari dan langit. Pengamatan ini memberi dorongan untuk menyelidiki. Dan dari penyelidikan ini berasal filsafat."Pada kuburan Immanuel Kant [1725-1824] tertulis "coelum stellum suora me, lex moralis intra me". Kedua gejala yang paling mengherankan, menurut Kant, adalah "langit berbintang di atasnya" dan "hukum moral dalam hatinya"

Kesangsian:
Filsuf-filsuf lain seperti Augustinus [354-430] dan Descartes [1596-1650], menunjukkan kesangsian sebagai sumber utama pemikiran. Manusia heran kemudian ia ragu-ragu. Apakah ia tidak ditipu oleh pancainderanya kalau ia heran? Apakah kita tidak hanya melihat yang ingin kita lihat? Di mana dapat di temukan kepastian, karena dunia ini penuh macam-macam pendapat, keyakinan dan intepretasi? Sikap ini, sikap skeptis[Yunani: penyelidikan], sangat berguna untuk menemukan suatu titik pangkal yang tidak da pat diragukan lagi. Titik pangkal ini dapat berfungsi sebagai dasar untuk semua pengetahuan lebih lanjut.

Kesadaran akan keterbatasan:
Filsuf-filsuf lainnya lagi mengatakan bahwa manusia mulai berfilsafat ketika ia menyadari betapa kecil dan lemah dirinya bila dibandingkan dengan alam semesta sekelilingnya. Semakin manusia terpukau oleh keterhinggaan sekelilingnya, semakin ia heran akan eksistensinya. Dengan keterbatasan itu manusia terdorong untuk berupaya mengatasi segenap kegagalan, kelemahan atau problema lainnya.

Cabang Filsafat:
Cabang-cabang filsafat menurut buku ini terbagi atas empat kelompok yakni:
  1. Filsafat tentang pengetahuan yang terdiri dari[ epistemologi, logika, dan kritik ilmu-ilmu]
  2. Filsafat tentang keseluruhan kenyataan, yang terdiri dari metafisika umum [ ontologi] dan metafisika khusu [teologi metafisik, antropologi, kosmologi]
  3. Filsafat tentang tindakan, yang terdiri dari etika dan etestika;
  4. Sejarah filsatat
Buku ini juga membentangkan ikhtisar sejarah filsafat, juga meneropong bagaimana implementasi filsafat dalam praktik.

Cabang Utama dalam Kajian Filsafat

Setelah beberapa lama absen, akhirnya saya bisa kembali lagi menulis. Kemarin-kemarin memang agak lelah dan capek soalnya. Banyak pekerjaan yang perlu diselesaikan. Tetapi, itu tidak mengurangi semangat saya untuk melanjutkan blog ini. Oya, selamat membaca aja posting yang baru ini! ( ^_^ )

Pada posting yang berjudul Ranah Kajian Filsafat, saya sudah menjelaskan kalau wilayah penelaahan filsafat dapat dibagi menjadi 3 bagian. Hal ini meliputi kajian tentang Dunia, Manusia, dan Tuhan. Dari tiga subjek ini, filsafat dapat dipilah menjadi beberapa cabang seperti telah diuraikan pada posting tersebut. Namun demikian, kali ini saya akan membahas cabang kajian filsafat dengan rumusan yang agak berbeda dengan yang telah dijelaskan. Untuk lebih jelasnya, hal ini akan diuraikan pada paragraf-paragraf di bawah ini.

Dalam mempelajari filsafat, para ahli biasanya mengatakan bahwa cabang utama kajian filsafat (main branches of philosophy) itu terdiri dari Logika, Metafisika, Etika, Epistemologi, Estetika, Theologia, maupun Filsafat Ilmu. Ada juga yang mengatakan cabang lainnya, tergantung pada sisi mana mereka memberikan titik tekannya. Bagi pakar filsafat yang memiliki kecenderungan untuk menekuni masalah-masalah kemanusiaan, Etika dan Filsafat Politik menjadi cabang yang disorot secara khusus. Ketika titik tekan itu bergeser pada masalah-masalah kealaman atau keilmuan, maka giliran Epistemologi, Filsafat Ilmu, ataupun Metodologi Filosofis yang menjadi tumpuan. Sedangkan bila kajian yang sifatnya transendental menjadi perhatian utama, maka cabang Theologia, Ontologi, dan Metafisika yang mendapat giliran.

Oleh karena beragamnya titik tekan dalam memilah-milah cabang filsafat tersebut, tentu saja hal ini akan membuat filsafat menjadi sangat sukar dikaji. Sebab, ketika misalnya saya membaca filsuf yang sangat perhatian dengan masalah-masalah kemanusiaan, maka saya kehilangan arahan tentang kajian masalah kealaman dan juga masalah transendental. Begitupun juga ketika membaca filsuf yang memiliki titik tekan pada masalah lainnya.

Hal ini biasa terjadi dan itu memang sewajarnya. Ini terjadi karena setiap filsuf memiliki spesialisasi atau kekhususan pikiran dalam corak filsafatnya. Akan tetapi, bagi seseorang yang baru belajar filsafat atau orang yang ingin belajar filsafat secara mudah, ini menjadi masalah yang cukup mengganjal. Sebab, dengan tiadanya kesepakatan di antara para filsuf, cabang utama kajian filsafat hingga kini tidak pernah ditetapkan. Akibatnya, orang itu akan "tersesat" di belantara filsafat yang cukup luas. (Nah lho...! Tapi mungkin saja saya keliru karena sudah ada buku baru tentang masalah ini. Hehe... Tolong kasih tahu ya kalau ada info tentang ini. ;-) )

Karena masalah-masalah di atas, dalam blog ini, saya memutuskan untuk menetapkan secara sederhana saja apa yang dimaksud dengan cabang utama kajian filsafat itu. Kriteria untuk ini adalah cabang tersebut dapat dipakai sebagai dasar untuk mengkaji semua masalah yang telah disebutkan tanpa harus terjatuh pada satu titik penekanan. Dengan demikian, orang yang ingin belajar filsafat dengan mudah akan lebih fokus mempelajari masalah-masalah tersebut tanpa harus bergelut dengan kebimbangan.

Dari sekian banyak cabang filsafat, sebenarnya ada empat cabang yang bisa dijadikan dasar untuk memahami cabang lainnya. Cabang ini pun dapat mewadahi berbagai masalah yang ada. Empat cabang filsafat yang dimaksud adalah: Logika, Epistemologi, Ontologi, dan Aksiologi. Cabang filsafat ini dapat dipelajari berurutan. Berikut adalah penjelasan kenapa cabang filsafat ini dapat dipelajari secara bertahap.

Berpikir, secara umum, adalah kegiatan yang biasa dilakukan manusia. Tanpa ini, manusia tidak akan bisa bertahan dalam lingkungannya ataupun menyesuaikan diri dengan yang lainnya. Namun, berpikir saja tidak cukup. Ada cara-cara berpikir yang baik dan itu menjadi pedoman baginya agar tidak berpikir secara gegabah, sembrono, semaunya, sampai pada pikiran yang sesat. Cara inilah yang disediakan Logika. Selanjutnya, dengan berpikir, manusia bisa mengetahui sesuatu (= Epistemologi), yang juga merupakan kunci pemahaman atas sesuatu yang ada, sesuatu yang mungkin adanya, dan sesuatu yang tidak ada (= Ontologi). Baru setelah itu, kita dapat melakukan sesuatu penilaian atas apa yang kita pahami atau memahami nilai dari apa yang kita pahami (= Aksiologi).

Nah, dari uraian di atas, kita dapat melihat bahwa empat cabang itu cukup netral dan bisa dipakai untuk mengkaji masalah-masalah yang berkaitan dengan dunia, manusia, ataupun Tuhan. Oleh karena itu, empat cabang filsafat inilah yang akan saya jadikan dasar untuk masuk dalam cabang-cabang filsafat lainnya.

Misalnya, "Apakah Nazi-isme (berkaitan dengan partai politik Nazi yang didirikan oleh Adolf Hitler di Jerman) itu pola pikirnya keliru apa tidak?"
Dalam masalah ini, kita masuk dalam pembahasan Filsafat Politik melalui Logika.
Contoh lain: "Apakah kita dapat mengetahui awal terciptanya jagat raya?"
Pada soal ini, aspek Epistemologis menjadi dasar untuk memahami Kosmologi.
Begitupun dengan masalah-masalah lain dalam filsafat. Semuanya dapat dipahami dengan baik asalkan kita benar-benar memahami empat cabang filsafat tersebut.

Jadi, silahkan Anda mencari informasi tentang empat cabang filsafat tersebut. Ini karena dalam posting selanjutnya, saya akan membahas empat cabang filsafat ini satu per satu. Tentunya, kita akan mulai dari Logika terlebih dahulu.

Selamat membaca... (^_^)

HAKIKAT TEKNOLOGI

Dalam mengkaji Filsafat Ilmu, dapat dipastikan akan terhubung dengan teknologi, maknanya ketika seorang-orang melakukan perenungan lebih mendalam, maka akan menemukan bahwa teknologi adalah anak kandung dari filsafat ilmu.
Gudang ini merasa perlu mengangkat hakikat teknologi, karena masih banyak ditemui pemahaman yang masih karut marut. Gudang telah mempersiapkan SARING-Sadapan Ringkas,. Terkait dengan hakikat teknologi, namun untuk kali ini, tidak diambil dari buku filsafat. Materi dari buku ”Etika dan Teknologi”. Urgensi pengambilanitu, karena keinginan mendekatkan teknologi dengan value-valuenya. Tetapi jika dicermati lebih mendalam maka buku ini dapat juga diketegorikan sebagai buku filsafat ilmu, karena dalam kaidah filsafat ilmu itu, pilar ketiganya adalah pencermatan terhadap nilai-nilai [value]—”Axiologi”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketika etika difungsikan untuk meneropong sebuah teknologi, mulai dari aplikasi dan dampak yang ditimbulkannya, maka kita telah masuk kubangan filsafat ilmu. Di sinilah teknologi sebagai anak kandung disentuhkan dengan ibunya, yakni filsafat ilmu.
[catatan : pada bulan Oktober yang lalu seorang kawan menginginkan pembahasan terkait dengan ranah teknologi, mudah-mudahan bahasan ini cukup mengobati]
Data Buku:
JUDUL : Etika dan Teknologi
PENULIS: Ir. Herus Santosa, M.Hum
PENERBIT : Tiara Wacana. Jalan Kaliurang Km. 78, Banteng , Sleman Yogyakarta. Telp./Fax. 880683. http://www.tiarawacana.co.id/
E-mail: yogya@tiarawacana.co.id
ISBN: 979-1262-04-7
TEBAL : xviii+189 halaman

SARING—SADAPAN RINGKAS
Hakikat Teknologi:
Teknologi bukanlah sekedar produk ilmu pengetahuan beserta temuan-temuannya yang berupa mesin, pesawat, reaktor, ataupun fasilitas fisik lainnya yang serba canggih, melainkan juga termasuk sistem organisasi, struktur sosial beserta kekuasaan yang terlintas padanya.
Menurut Kunto Wibisono:
Merupakan hasil penerapan secara sistematik ilmu pengetahuan, sebagai suatu himpunan rasionalistik empirik dari berbagai komponen pendukungnya, dengan maksud hendak mengusai atau mengendalikan gejala-gejala yang dihadapinya melalui proses produktif secara ekonomis.”

Karakter Teknologi:
Ada beberapa karakter teknologi :
Pertama: teknologi pada hakikatnya adalah ”tangan” untuk melaksanakan kekuasaan yang dimiliki ilmu, hal ini harus disadari oleh manusia. Teknologi dihasilkan dari penerapan ilmu yang sudah mengalami penelitian dan pengembangan lebih lanjut hingga manfaatnya menjadi jelas bagi kehidupan manusia/.

Kedua: teknologi bersifat dialektik, artinya teknologi dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi manusia, akan tetapi pemecahan masalah tersebut menimbulkan permasalahan yang baru , dan permasalah yang baru ini harus dipecahkan dengan teknologi yang baru pula.

Ketiga, teknologi memerlukan energi yang sangat besar. Pada umumnya, di negara-negara industri maju, konsumsi energi perkapita sangat tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara yang laju konsumsinya rendah. Sehingga tampak adanya korelasi antara pendapatan nasional bruto [GNP] dengan konsumsi energi

FILSAFAT TEKNOLOGI?
Filsafat teknologi adalah salah satu cabang filsafat khusus yang melakukan analisis filsafat tentang teknologi dan berbagai unsur serta seginya.
Menurut salah seorag tokoh pelopor filsafat teknologi Carl Mitcham [1980:305], persoalan-persoalan filsafat tentang teknologi ada dua jenis, sebagai berikut:

Jenis Pertama:
”menyangkut soal-soal teoritis tentang sifat dasar teknologi, hubungannya dengan ilmu, struktur tindakan teknologi, intisari mesin, dan perbedaan mesin dengan manusia

Jenis Kedua:
”bersifat praktis, menyangkut persolan-persoalan etis mengenai keterasingan dalam masyarakat industri, senjata nuklir, pencemaran dam parktik keinsinyuran yang profesional
Filsafat teknologi Menurut Mario Bunge
Filsafat teknologi dapat dipandang sebagai gabungan dari lima cabang filsafat yang masih merupakan kuncup bunga yang hampir mekr,--Mario Bunge [1979:72] menjelaskan:
  1. technoepistemology
  2. technometaphysic
  3. technoaxiology
  4. technoethics
  5. technopraaxiology

Technoepistemology:
Adalah telaah filsafat tentang pengetahuan teknis. Persoalan yang dibebaskan, antara lain adalah membedakan pengetahuan teknologi dan pengetahuan biasa dan pengetahuan ilmiah, atau metode teknologi yang sejajar dengan metode ilmiah serta aturan-aturannya

Technometaphysic:

Adalah telaah filsafat tentang sifat dasar sistem-sistem buatan dari mesin-mesin sederhana sampai sistem-sistem barnag manusiawiyang rumit. Persoalan yang dibahasnya antara lain adalah prasyarat-prasyarat ontologis dari teknologi atau kekhasan dari semua barang teknologi yang membedakannya dari benda-benda alamiah

Technoaxiologi:
Adalah telaah filsafat tentang penilaian yang dilakukan oleh para ahli teknologi dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan teknologi mereka. Persoalan yang dibahasnya, antara lain adalah, nilai-nilai yang dipegang oleh para ahli teknologi kognitif, moral, ekonomi, sosial atau politis dan petunjuk-petunjuk niali nilai teknologi yang paling dapat dipercaya; Perbandingan kemanfaatan atau biaya, pemasaran kebutuhan sosial atau lainnya

Tecnoethics

Adalah cabang etika yang menyelidiki pokok-pokok pertikaian moral yang dihadapi oleh para ahli teknologi dan masyarakat umum dalam hubungannya dengan dampak sosial dari proyek-proyek teknologi yang berskala besar

Technopraxiologi

Adalah telaah filsafat tentang tindakan manusia yang dibimbing oleh teknologi. Persoalan yang dibahasnya, antara lain mengenai konsep tindakan rasional yang dapat diwujudkan secara pasti ata bagaimana seorang dapat ,erumuskan dalam istilah istilah umum, derajat efisiensi dari suatu sasaran terhadap suatu tujuan.

PERSOALAN EKSISTENSI DAN HAKIKAT ILMU


Suparlan Suhartono, Ph.D, adalah nama seorang-orang yang selalu akrab ditelinga siapa dsaja yang gandrung dengan filsafat ilmu.
Tulisannya telah berjimbun, dan diterbitkan oleh bebera penerbit. Gudang ini, beberapa bulan yang lalu juga telah menghadirkan tulisan Suprlan Suharto, Ph.D, Buku yang membentangkan Hakikat Ilmu, lewat buku Filsafat Ilmu Pengetahuan terbitan: Ar. Ruzz Jl. Anggrek No.97 A Sambilegi Lor RT 04. RW.57 Mangunharjo, Depok Sleman, Yogyakarta Telp. [0274] 7482086. HP. 081.642.72234. E-mail: arruzzwacana@yahoo.com
Kini Gudang kembali mengundang kehadiran buku-buku karyanya., utamanya yang bersinggungan dengan filsafat ilmu.
Data Buku
JUDUL: Filsafat Ilmu Pengetahuan [Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu Pengetahuan]
PENULIS: uparlan Suhartono, Ph.D
PENERBIT: Ar-Ruzz Madia. Modinan Sambilegi 194 Manguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta. Telp. [0274] 4332223. E-mail: marketingarruzz@yahoo.co.id
ISBN: 979-25-4484-4
CETAKAN: I Juni 2008 [Cetakan lama telah diposting di gudang ini]
TEBAL: 180 hlm, 13,5 x 19 cm
SARING[Sadapan Ringkas]
Obyek Ilmu Pengetahuan:
Obyek studi Ilmu Pengetahuan selalu berada di dalam sepuluh kategori. Kesemuanya itu dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu subtansi atau diri, aksidensia mutlak berupa kuantitas dan klualitas, aksidensia relative berupa hubungan [relation], tindakan [action], derita [passion], ruang [space], waktu [time], keadaan [situation], dan kebiasaan [habit].

Kehadiran Filsafat Ilmu Pengetahuan di tengah-tengah pluralitas ilmu pengetahuan dan teknologi ini menuntut suatu pengembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi secara interdisipliner atau multidisipliner, dan diamalkan secara etis dan tidak bebas nilai. Upaya pengembangan dan pengamalan ilmu pengetahuan dan teknologi demikian itu terarah kepada dua sasaran pokok, yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dan menjaga kelestarian lingkungan hidup dengan sumber daya alamnya.
Melihat "yang ada':
Buku ini membentangkan tentang yang ada sebagai berikut.
Dengan mengambil pemikiran bapak metafisika yang menyatakan bahwa setiap “yang ada” berada dalam suatu cara disebut 10 [sepuluh] kategori. Adapun kesepuluh kategori itu dapat dijelaskan kembali secara beba sebaga berikut:

  1. Setiap hal pasti berada di dalam “substance” au dirinya sendiri. Artinya, setiap hal pasti berada sebagai dirinya sendiri, bukan yang lain. Seorang pasti berada sebagai manusia, bukan mahklukm lain.
  2. Setiap hal pasti berada di dalam “quality” atau sifatnya sendiri. Keberadaan seorang sebagai manusia ditentukan oleh sifat khas kejiwaan cipta, rasa dan karsa kemanusiannya.
  3. Setiap hal pasti berada di dalam “quantity” atau bentuknya sendiri. Keberadaan seseorang sebagai manusia ditentukan oleh bentuk keragaman khas manusia.
  4. Setiap hal pasti berada di dalam “relation” atau hubungan dengan hal lain. Artinya, setiap hal tidak bisa berada dengan sendirinya. Keberadaannya serba terhubungkan dengan yang lain secara fungsional. Keberadaan manusia selalu ditentukan sepenuhnya oleh hubungan dengan sesama manusia dan alam
  5. Setiap hal pasti berada di dalam “action” atau tindakan tertentu. Artinya, terhadap yang lain sesuatu hal memerankan diri dalam predikat tertentu. “air” sebagai sumber kehidupan. “manusia” memerankan diri sebagai pemelihara kelangsungan hidupnya.
  6. Setiap hal pasti berada di dalam suatu “passion” atau derita tertentu atas tindakannya. Karena sebagai sumber kehidupan, air menajdi 0byek kehidupan. Atas perannya sebagai pemelihara kelangsungan kehidupan, maka manusia harus bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan
  7. Setiap hal pasti berada di dalam suatu “space” atau ruang tertentu. Dalam hubungannya dengan yang lain menurut peran masing-masing, pasti berjalan di dalam tempat tertentu. Menurut tempatnya, air bisa menjadi air sumur, air sungai, air selokan, dan sebagainya
  8. Setiap hal pasti berada di dalam suatu “tempo” atau waktu tertentu. Dengan keberadaannya di dalam ruang tertentu, maka sesuatu pasti juga berlangsung dalam waktu tertentu. Dalam waktu lain, air sumur menjadi air minum, dan sebagainya
  9. Setiap hal pasti berada di dalam “situs” atau keadaan tertentu, Kelangsungan keberadaan dalam tempat dan waktu tertentu itu berarti sesuatu hal berada dalam keadaan tertentu. Air bisa berarti sesuatu hal berada dalam keadaan tertentu. Air bisa dalam keadaan bersih pada sumbernya, lalu mendi kotor di muara sungai
  10. Setiap hal poasti berada di dalam “habitus” atau kebiasaan tertentu. Artinya, setiap jenis sesuatu selalu berada dalam habiutatnya sendiri-sendiri. Habitat air adalah tatanan lingkunagn yang seimbang, habitat “ikan” ada;ah air, habitat manusia adalah kreativitas untuk menyesuaikan diri, begitu seterusnya.

[ Catatan khusus, untuk pemanfaatan bagi pemikiran epistemic sebagai landasan studi filsafat pengetahuan]
Pertama: Pentingnya pengetahuan, Yaitu mengetahui secara benar tentang batas-batas pengetahuan, agar tidak melakukan penyelidikan dan pemikiran-pemikiran mengenai sesuatu hal yang pada akhirnya menjadi sia-sia karena tidak akan bisa diketahui. Tetapi, apakah pengehatuan hanya terbatas pada kemampuan pengalaman indra dan pemikiran saja?
Kedua, makna pengetahuan. Jika dikatakan bahwa seorang mempunyai pengetahuan, berarti ia mempunyai kepastian tentang sesuatu hal, dan bahwa apa yang dipikirkan di dalam pernyataan-pernyataan adalah sungguh-sungguh merupakan halnya sendiri. Tetapi, kenyataan membuktikan bahwa hamper tidak ada yang dapat dipastikan dalam kehidupan ini.
Ketiga, metode memperoleh pengetahuan, menentukan sifat kebenaran pengetahuan, yang terdiri Dari:

  1. Pengathaun empiric [empirism]. Mendapatkan pengetahuan melalui pengalaman indrawi. Sedangkan akal pikiran dipandang sebagai penampung segala hal yang dialami
  2. Metode Rasional [rationalism]. Pengetahuan bersumber dari akal pikiran. Pengalaman dipandang sebagai perangsang bagi akal pikiran. Kebenaran bukan pada diri sesuatu, malainkan pada idea.
  3. Metode fenomenologik [Fenomenologism I.Kant). Bahwa apa yang dapat diketahui tentang sesuatu hal itu hanyalah gejala-gejala saja, bukan halnya sendiri. Adapun gejala-gejala itu ada pada hubungan yang niscaya [pasti] antara sebab akibat.
  4. Metdode ilmiah, Memperoleh pengetahuan yang benar dan obyektif melalui cara ini, seperti ,melakukan pendekatan [approach] untuk menentukan lingkupan studi [scope] yang sering disebut obyek forma, untuk menetukan metode [method] yang cocok, apakah analisis ataukah sintesis, dan menetukan system kerja yang tepat, apakah terbuka ataukah tertutup, semuanya menjadi penting.

Ranah Kajian Filsafat

Sekarang ini, mungkin sudah saatnya kita mempelajari apa yang disebut dengan ranah atau wilayah kajian filsafat. Ini menjadi penting dipelajari agar kita memiliki suatu gambaran yang cukup tentang apa-apa yang akan dipelajari dalam filsafat. Ya, ini mirip dengan peta jalan yang kita gunakan sebagai panduan untuk bepergian agar kita sampai pada tujuan dengan cepat dan selamat. Dalam konteks belajar kita, memahami ranah kajian filsafat akan memberikan suatu arah yang pasti untuk dapat memilih cabang filsafat yang sesuai, atau siapa filsuf yang cocok, atau gaya filosofi apa yang disukai oleh kita secara pribadi.

Berdasarkan pengamatan saya pribadi, ranah kajian filsafat dapat dipilah menjadi tiga wilayah pokok kajian. Pertama mengenai "dunia" di mana kita tinggal. Setelah itu, pemahaman atas "diri" manusia sendiri. Yang terakhir, ini adalah pemahaman mengenai wilayah "transenden" (transcendence).  

Dunia yang kita tinggali menjadi objek pertama perhatian renungan filosofis itu karena kita biasanya selalu punya perhatian yang lebih atas sesuatu yang ada di luar kita. Misalnya, ada ungkapan yang mengatakan bahwa "rumput tetangga itu lebih hijau daripada rumput yang ada di halaman rumah kita". Hal ini terjadi atas dasar pengaruh rasa kagum akan sesuatu yang kita lihat, dengar, dan rasakan. Namun demikian, setelah kita sadar dengan apa yang kita miliki atau sadar akan diri kita sendiri, biasanya kita akan mencoba untuk instropeksi atau meninjau diri kita sendiri. Pertanyaan seperti apakah kita dan secara umum pertanyaan siapa manusia itu akan terbersit.

Ketika pertanyaan serupa ini muncul, pertanyaan tentang masalah "penciptaan" akan menghampiri. Karena ada dunia dan manusia, tentu ada yang menciptakannya. Inilah yang disebut sebagai masalah transenden dalam filsafat. Kenapa disebut dengan transenden? Ya, ini sebenarnya karena sesuatu yang berhubungan dengan penciptaan dunia dan manusia itu adalah sesuatu yang berada di luar pengetahuan manusia. Sementara itu, masalah yang berhubungan dengan manusia dan dunia seringkali dinamakan dengan "immanen" (immanence), serta dilawankan dengan pengertian transenden. Disebut immanen karena ini berhubungan langsung dengan pengalaman manusia itu sendiri. (Apa ga ada istilah yang lebih mudah dipahami? ^_^ )

Lalu, bagaimana masalah immanen dan transenden ini harus dipahami dalam kaitannya dengan cabang kajian filsafat?

Dari pemahaman mengenai dunia, kita sebenarnya sedang bergerak memasuki cabang filsafat yang disebut dengan Kosmologi (Cosmology). Berasal dari kata Yunani, kosmos (yang berarti dunia atau juga teratur), Kosmologi adalah cabang filsafat yang mengkaji masalah asal muasal alam semesta beserta proses terciptanya. Berdasar pada kajian mengenai dunia inilah juga lahir ilmu-ilmu kealaman, yaitu: Astronomi, Geologi, Fisika, Kimia, dan Biologi.

Pada kajian mengenai manusia, kita akan menemukan hubungan dengan berbagai macam cabang filsafat. Ada kajian Filsafat Manusia (Philosophical Antropology), Filsafat Pengetahuan (Epistemology), Filsafat Nilai (Axiology), Filsafat Moral atau Etika (Ethics), Filsafat Sosial (Social Philosophy), Filsafat Akal (Philosophy of Mind), Logika (Logics), Filsafat Ilmu (Philosophy of Sciences), hingga Filsafat Bahasa (Philosophy of Language). Dari kajian mengenai manusia pula lahir ilmu-ilmu kemanusiaan (humanity sciences) dan ilmu-ilmu sosial (social sciences).

Sedangkan pada kajian atas masalah transendensi, ini secara khusus dikaji dalam cabang filsafat yang disebut dengan Metafisika (Metaphysics). Namun demikian, kita jangan salah paham dulu dengan istilah Metafisika. Walaupun Metafisika itu mengkaji sesuatu yang berada di luar wilayah fisik atau melampaui wilayah fisik, ini tidak kemudian mengandaikan bahwa Metafisika berurusan dengan klenik ataupun magis. Sebab, Metafisika itu memiliki fokus pembicaraan tentang masalah-masalah "ada" (being) dan "kenyataan" (reality). Selain Metafisika, masih dalam masalah transenden, ada cabang filsafat yang mengkaji tentang masalah Pencipta atau Tuhan, yaitu dalam Filsafat Ketuhanan (Theological Philosophy).

Ternyata, dari tiga wilayah pokok kajian ini, kita dapat melihat bahwa sedemikian luasnya kajian filsafat itu. Oleh karenanya, sebagian besar filsuf mengatakan bahwa pokok kajian filsafat hanya dibatasi oleh masalah "tiada" (nothing). "Segala sesuatu yang ada" itu adalah pokok kajian utama dari filsafat. Namun, secara khusus, cabang filsafat yang mengkaji masalah "ada" dan "tiada" pun telah muncul. Inilah yang disebut dengan Ontologi (Ontology). (Aduh mak, luas banget tuh wilayahnya. Mudah-mudahan ga nyasar nih ...! ;-) ) 

Demikian, uraian singkat mengenai ranah atau wilayah kajian filsafat. Pada posting selanjutnya, kita akan mempelajari cabang kajian filsafatnya satu-satu. Supaya Anda mendapatkan gambaran tentang ini secara lebih baik, Anda sebaiknya membaca referensi yang saya sebutkan di bawah ini. Paling tidak, dengan melakukan ini, Anda dapat mengecek apakah ada uraian-uraian saya yang kurang dipahami atau malah menemukan adanya kekeliruan. Selamat membaca referensinya ya! (Wah, ko malah ngantuk bacanya? Bangun-bangun ...! Minum kopi dulu ya? Hehe...)

Referensi:

1. Harry Hammersma, 1998, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, Cet. XVI, Kanisius, Yogyakarta.

2. Milton D. Hunnex, 1986, Chronological and Thematic Charts of Philosophies and Philosophers, Academie Books, Michigan.


FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN : Mikhael Dua

Buku ini dahsyatnya menyamai Buku "Ilmu Dalam Perspektif" Karya Yuyun Suriasumantri", bahasanya mudah dicerna, mengalir sehingga tak perlu menguras pikir. Lahirnya buku ini sebagian atas perunungan penulis, bahwa saat ini kurikulum pembelajaran di tanah air acapkali ditebas libas oleh kepentingan pasar. Ilmu seakan tereduksi untuk kepentingan yang pragmatis. Hadirnya filsaf ilmu tentunya ingin membuat barrier terhadap kepentingan-kepentingan semu, menuju kepentingan yang realistis berpandangan ke depan. Tangan dingin penulis, Mikhael Dua ingin berkontribusi atas masalah-masalah tersebut, bahkan telah diawali dengan menulis sebuah buku dengan judul Ilmu Pengetahuan,Sebuah Tinjauan Filosofis, yang ditulis bersama Sonny Keraf.
Intinya menyentuh persoalan plus minusnya padangan para filsuf, seperti Karl Raimund Popper, Carl Gustav Hempel, bahkan paradigma Ilmu Pengetahuan buah kreativitas Thomas S. Kuhn dibahas tuntas.
Data Buku :
JUDUL : Filsafat Ilmu Pengetahuan-Telaah analitis, Dinamis, dan Dialetis
PENULIS: Mikhael Dua
PENERBIT: Ledalero--Seminari Tinggi LedaleroMaumere 86152. Tel. [0382]--22898. E-mail: penerbitledalero@yahoo.com. website: http://www.penerbitledalero.org/
ISBN: 979-9447-26-7
CETAKAN: I--2007.
TEBAL: xvi + 248 hlm, 140 x 210 mm

Cara Belajar Filsafat (2)

Mungkin Anda sudah membaca tulisan saya yang berjudul Cara Belajar Filsafat (1). Dalam tulisan itu dijelaskan cara saya belajar filsafat untuk pertama kalinya dan perjalanan saya ketika belajar filsafat di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hingga akhirnya lulus di tahun 2003. Walaupun belajar dengan serabutan, saya masih bisa belajar filsafat dengan baik karena tertolong dengan perkuliahan yang saya ikuti di fakultas. Namun, dalam bayangan saya, seandainya saya tidak pernah menjadi mahasiswa filsafat, mungkin ceritanya akan lain. Saya mungkin belum tentu bisa belajar filsafat dengan baik.

Dengan pikiran serupa ini, muncul gagasan dalam benak saya untuk mencari tahu cara belajar filsafat yang baik dengan lebih mudah dan sederhana. Mudah dengan arti kita dapat mempelajari filsafat tanpa kepayahan, dan sederhana yang berarti kita akan dapat belajar filsafat tanpa harus dipusingkan oleh teori-teori filsafat yang njelimet atau susah dicerna. Walaupun demikian, gagasan ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru, karena mungkin ada banyak orang yang sudah menerapkan gagasan ini lebih baik dari saya. 

Contohnya adalah Jostein Gaarder, seorang pengajar filsafat dari Oslo, Norwegia, yang mengarang buku "Sofies verden" (Sophie's World) sebagai wahana baru untuk menjelaskan sejarah filsafat melalui novel. Versi Indonesia untuk buku ini telah diterjemahkan oleh penerbit Mizan dengan judul Dunia Sophie. Selain pada Gaarder, saya juga berhutang budi pada mas Antariksa, salah seorang senior saya di Fakultas Filsafat UGM. Dia yang mengajarkan pada saya, walaupun tidak secara langsung, untuk belajar filsafat secara having fun atau menyenangkan. Itu karena dia adalah orang yang tidak mau dipusingkan oleh teori-teori filsafat yang njelimet. (Mas Antariksa ini aktif mengelola jurnal Kunci yang mengangkat tema Cultural Studies semenjak 1999 hingga sekarang)

Gaarder memberikan contoh buat saya untuk mempelajari filsafat dengan enak dan mas Antariksa mengajarkan pada saya untuk tidak selalu berpaku pada teori filsafat yang njelimet. Namun, tidak ada yang mengajarkan pada saya suatu cara untuk belajar filsafat dengan mudah. Meskipun begitu, saya tidak pernah merasa segan untuk mencari cara belajar filsafat dengan mudah. Ini diperuntukkan bukan hanya bagi saya secara pribadi, tetapi juga bagi Anda yang senang belajar filsafat. 

Untuk mendapatkan solusinya, saya akan mencoba menganalisis terlebih dahulu cara belajar saya yang telah lalu.

Ketika saya belajar filsafat untuk yang pertama kali, saya ini sebenarnya menggunakan cara learn by try (belajar dengan coba-coba). Ini adalah cara belajar yang umum dipakai oleh setiap orang ketika ia dihadapkan pada masalah atau persoalan yang belum ia kenal sepenuhnya. Bahkan, pada riset yang paling canggih sekalipun di bidang ilmu dan teknologi, cara ini masih dipakai. Terutama untuk menemukan sesuatu yang baru dan riset itu tidak pernah dilakukan sebelumnya. 

Walaupun demikian, tetap ada kelemahan dalam cara ini. Sebab, cara belajar seperti ini lebih banyak menghabiskan waktu, tenaga, dan tentu saja biaya. Padahal, kita tahu, setiap orang memiliki waktu, tenaga, dan harta yang terbatas. Dalam kaitannya dengan masalah ini, belajar filsafat seringkali dipandang sebagai sesuatu yang mahal dan mewah. Itu karena dalam pikiran orang awam, filsuf itu dibayar hanya untuk "melamun". (Wah, enak dung? ^_^)

Oleh karena itu, kita sebaiknya memilih cara belajar yang lain. Cara belajar lainnya yang mungkin dapat kita lakukan ada dua macam, yaitu (1) learn by experience dan (2) learn by guidance. Cara belajar pertama difokuskan pada bagaimana caranya kita mempelajari sesuatu dengan berdasarkan pada pengalaman yang kita miliki. Sedangkan pada yang kedua, cara belajarnya terfokus pada petunjuk yang akan mengarahkan kita pada tujuan pembelajaran.

Pada cara belajar yang pertama, belajar filsafat akan menjadi lebih mudah dipahami bila masalah filsafatnya dikaitkan dan dijelaskan dengan apa yang kita alami sehari-hari. Contoh untuk uraian ini sudah saya terapkan ketika saya menjelaskan kenapa kita harus belajar filsafat dalam posting Mengapa Belajar Filsafat? dan posting yang berjudul Mau ke mana? yang menjelaskan arah kita dalam berfilsafat.

Sedangkan pada cara belajar yang kedua, inilah yang ditempuh ketika seseorang belajar filsafat di perguruan tinggi. Namun, model belajar filsafat di perguruan tinggi menjadi tidak efektif ketika dilaksanakan dalam kelas yang besar dan terdiri dari banyak orang. Belajar filsafat dengan model learn by guidance hanya akan berlaku efektif bila diterapkan pada hubungan Guru dan Murid satu-satu. Artinya, murid ini dibimbing khusus secara pribadi oleh seorang Guru. Ini mirip ketika seorang mahasiswa mengajukan skripsi sebagai syarat untuk ujian akhir yang dibantu oleh Dosen Pembimbing. (Kalau dosennya bukan ahli di bidang yang dipilih ma mahasiswa gimana ya? Hehe...) 

Dengan memperhatikan model-model belajar yang telah disebutkan, memang masing-masing cara belajar memiliki kelebihan dan kekurangannya. Namun, yang terpenting sekarang ini, bagaimana menggunakan tiga model belajar tersebut secara komplementer (saling melengkapi) ketika kita belajar filsafat. Oleh karena kita menginginkan belajar filsafat dengan mudah dan sederhana, maka tentu saja ada cara yang efektif dalam menggunakannya. Berikut ini, ada beberapa tip yang bisa Anda gunakan.

  1. Untuk tema-tema yang pokok dan mungkin relatif sulit dicerna, khususnya yang berkaitan dengan tema Filsafat Sistematis dan Filsafat Regional, Anda sebaiknya menggunakan cara belajar belajar filsafat dengan model learn by guidance. Sebab, cabang filsafat seperti Logika, Ontologi, Aksiologi, serta Epistemologi tidak setiap orang suka dan menguasainya. Apalagi cabang yang sangat khusus dan berhubungan dengan ilmu lain, misalnya Filsafat Hukum dan Filsafat Matematika, orang yang belajar ini sedikitnya dituntut untuk menguasai masalah hukum dan matematika. Terus, berkaitan dengan Filsafat Regional, learn by guidance akan sangat membantu ketika Anda harus membaca teks-teks orisinal dalam bahasa-bahasa asing (seperti bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Arab, Hindi, Cina), maupun bahasa-bahasa nusantara (seperti bahasa Melayu, Batak, Sunda, Jawa, dan bahasa lainnya).

  2. Untuk tema Filsafat Historis, Anda bisa menggunakan model learn by try karena ini relatif mudah dicerna dan dapat dilakukan secara otodidak. Hal ini dapat terlaksana karena teks sejarah biasanya ditulis dalam gaya naratif atau cerita. Referensi yang paling baik untuk ini adalah buku Jostein Gaarder tersebut di muka yang berjudul Dunia Sophie dari penerbit Mizan.

  3. Untuk berfilsafat secara mandiri, model yang paling cocok adalah model learn by experience. Di sini, usahakan Anda temukan kaitan yang paling dekat antara suatu masalah filsafat dengan pengalaman sehari-hari.

 
Nah, mungkin ini yang bisa saya sampaikan untuk penjelasan mengenai cara belajar filsafat yang mudah sekarang ini. Mudah-mudahan ini bisa membantu Anda belajar filsafat secara lebih baik. ;-)


Cara Belajar Filsafat (1)

Salam ... !!!

Selamat bertemu lagi dengan saya di sini. Pertama-tama saya mau ucapin maaf yang sebesar-besarnya karena postingnya telat lagi. Kedua, saya ingin mengucapkan selamat Idul Fitri 1429H dan semoga segala sesuatunya menjadi hikmah dan berkah buat Anda semua. Ketiga, saya lupa lagi. Hehe ...

Oh iya, sesuai judulnya, sekarang ini kita akan membahas cara belajar filsafat. Ini merupakan materi yang gampang-gampang susah untuk dilaksanakan. Sebab, cara belajar sangat bergantung pada karakter masing-masing pribadi yang amat khas. Ada pribadi yang suka belajar dengan tekun dan rutin. Ada yang senang belajar sambil bersantai dan mendengarkan musik. Ada pula yang hanya belajar pada saat mau ujian, alias belajar dengan model SKS (Sistem Kebut Semalam). (Kebanyakan orang Indonesia kayaknya lebih suka dengan yang terakhir. ;-) )

Nah, dalam kaitannya dengan cara belajar filsafat, karakter seperti ini akan sangat mempengaruhi pola belajar filsafat. Walaupun demikian, tetap saja ada pola umum yang dapat kita pakai dalam mempelajari filsafat. Di sini, saya akan mengetengahkan pola umum yang paling mudah dilaksanakan. Cara belajar yang dimaksud akan dijelaskan melalui contoh ketika saya belajar filsafat pertama kali.

Ketika Anda mempelajari filsafat pertama kali, tentunya kebingungan akan hadir dan terus membayangi Anda. Anda biasanya akan dibingungkan oleh masalah-masalah: saya harus belajar dari mana, saya harus belajar apa; apakah saya harus belajar dengan sistematik atau tidak; apakah saya harus mempelajari seluruh materi filsafat atau hanya sebagian saja; apakah ada manfaatnya kalau belajar filsafat apa tidak; apakah saya akan 'gila' atau menjadi 'tidak waras' kalau belajar filsafat apa tidak; dan yang terakhir, mungkinkah saya belajar filsafat apa tidak.

Semua kebingungan atau kekhawatiran yang muncul ini adalah wajar dan saya juga mengalaminya. Pada saat situasi ini muncul, dulu saya memilih untuk belajar filsafat dengan cara mempelajari sejarahnya. Artinya, saya mulai masuk dalam dunia filsafat dengan mengawalinya pada materi sejarah filsafat. Walaupun cukup efektif buat saya ketika itu, namun saya dihadapkan pada pengembaraan nan panjang dan melelahkan. 

Bagaimana tidak, saya dengan tidak sadar 'dipaksa' untuk mempelajari sejarah filsafat yang terentang selama kurang lebih dari 2500 tahun. Saya larut dan kemudian mempelajari secara otodidak sejarah filsafat Yunani, Islam, India, Cina, Barat di masa Abad Pertengahan, Abad Pencerahan, Abad XVI hingga Abad XX. Walaupun tidak sepenuhnya otodidak karena saya mendapatkan arahan dari mata kuliah sejarah filsafat yang diberikan di Fakultas, saya tetap merasa tidak puas dengan uraian-uraian dosen saya tersebut. Pernah satu waktu saya bertanya dalam mata kuliah Sejarah Filsafat Islam tentang teori Emanasi yang diungkapkan Al-Farabi mengikuti uraian Emanasi Plotinus, dosen saya tersebut malah bilang untuk tidak 'ngeyel'. 

Saya bertanya-tanya dalam hati. Saya kan kuliah untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban. Kenapa malah saya tidak boleh bertanya tentang masalah itu? Walaupun agak nggrundel dalam hati, saya tetap ikuti kuliah itu hingga akhir. Saya mendapatkan nilai A untuk mata kuliah Sejarah Filsafat Islam. Tetapi saya tidak mendapatkan pengetahuan apapun kecuali pengenalan terhadap tokoh-tokoh Filsafat Islam beserta pengenalan atas teori-teori yang diungkapkannya. Akhirnya, saya mulai mendapatkan sedikit gambaran yang cukup baik ketika memutuskan untuk membaca buku biografi Ibn Sina secara otodidak tanpa terlalu peduli dengan buku teks yang dianjurkan. 

Inilah gambaran sederhana cara saya belajar filsafat untuk pertama kali. Meskipun begitu, ketika saya mulai masuk dalam ranah kajian filsafat secara lebih jauh, saya kembali dihadapkan pada kebingungan untuk memilih cabang filsafat apa yang akan saya telaah lebih serius. Apakah Metafisika atau Ontologi, Aksiologi, Etika, Epistemologi, Filsafat Ilmu, atau cabang lainnya. Saya mencoba memulainya dari Metafisika. Namun, karena kekurangan referensi yang membahas bidang ini, saya urung mempelajarinya secara serius. 

Titik terang untuk mempelajari cabang filsafat mulai muncul lagi-lagi karena pengembaraan saya dalam sejarah filsafat. Kali ini saya terpikat dengan tokoh yang bernama Ludwig Wittgenstein. Ia adalah seorang filsuf Jerman-Inggris yang menekuni bidang Mesin Pesawat Terbang di awal kuliah, namun berbelot menekuni filsafat karena dorongan untuk mempelajari Matematika secara lebih mendalam. Melalui Wittgenstein, saya didorong untuk menekuni Filsafat Bahasa hingga akhirnya bergerak ke bidang Semiotika.

Ketika saya asyik dengan semua pembelajaran itu, tak terasa saya harus menyiapkan skripsi sebagai ujian terakhir mempelajari filsafat di kampus pada tahun 1999. Lagi-lagi saya bingung harus mengambil tema apa yang sesuai dengan minat filosofis saya waktu itu. Saya siapkan judul mulai dari tema Logika, teori "Public Sphere"-nya Jurgen Habermas, hingga kajian mengenai Wittgenstein itu sendiri. Namun demikian, saya malah tertambat hati dengan tema Cyberspace setelah membeli buku Cyberspace for Beginner terbitan Mizan dari tukang buku loakan di jalan yang membelah kampus IKIP Yogyakarta (sekarang UNY) ke arah jalan Gejayan.

Keputusan pun dibuat dan akhirnya saya mengajukan skripsi filsafat dengan tema Cyberspace. Teman-teman di kampus pun rada-rada kaget. Apa hubungannya Cyberspace dengan filsafat? Mereka mengajukan pertanyaan itu sering kali. Bagaimana pun juga itu adalah sesuatu yang lumrah karena di tahun 1999 Internet belum begitu menjamur dan hanya sedikit orang yang paham akan Internet. Tetapi, saya nekat. Saya paksa diri saya untuk belajar sesuatu yang baru untuk menemukan sisi filosofisnya. Akhirnya, melalui perjuangan selama empat tahun, jadilah skripsi saya. (Duh, lama banget bikinnya! Termasuk orang yang menyandang gelar MA (Mahasiswa Abadi) ya? ... Iya nih, gak salah tuh. Hehe...)

Duh, ko jadi cerita ya? Maaf, tapi inilah cara saya belajar filsafat. Jadi, saya terpaksa memaparkannya panjang lebar untuk menjelaskan pola belajar filsafat yang saya miliki. Terkesan serabutan dan tidak efektif memang, meski mudah untuk dilaksanakan. Oleh karena alasan ini, saya akan mencoba untuk menyusun cara belajar filsafat yang lebih efisien dan efektif pada posting selanjutnya. Demikian, tulisan saya untuk cara belajar filsafat bagian pertama. Mohon kritik dan sarannya!




EPISTEMOLOGI DALAM FILSAFAT


ILMU DAN KEINGINAN TAHU
Salah satu bagian filsafat yang membahas pengetahuan iala epistemology. Epistemologi itu membicarakan pengartuhan dari pangkal sampai ujung. Melalui epistemology akan menyadarkan kita tentang berbagai hal yang menyangkut masalah sendi pengetahuan, wilayah bahasan, proses, bobot, sehingga memperoleh pengetahua yang sejati. Untuk maksu tersebut”Gudang Filsafat” akan menyadap buku yang membahasa Epistemologi dalam filsafat, berkisar pada Ilmu dan Keinginan Tahu.
Data Buku:
JUDUL: Ilmu dan Keinginan Tahu—[Epistemologi dalam Filsafat]
PENULIS: Drs. Mudlor Achmad
PENERBIT: Trigenda Karya. Koipo Plaza B-19. Jl.Peta—Lingkar Selatan Bandung –40265
ISBN: 979-8422-38-4
CETAKAN: I—1994
TEBAL: 109 hlm: 2,8 cm
Sandapan Ringkas:

Sasaran Pengetahuan:

  1. Alam—yang dikaji kosmologi
  2. Manusia—yang dibahas antropologi
  3. Tuhan—yang dibicarakan theodicea

Jenis sasaran pengetahuan, dilihat dari arah Obyek [yang dimati]:

  1. Objek material, ialah sesuatu yang diamati secara menyeluruh [integral].
  2. Objek forma, ialah bagian tertentu yang diamati dari sesuatu [parsial]

Jenis sasaran pengetahuan, dilihat dari subyek (yang mengamati) :

  1. Objek empiris [obyek rasa], yaitu sasaran yang pada dasrnya ada dan dapat ditangkap oleh indera lahir [pancaindra]
  2. Objek ideal [objek bukan rasa], yaitu sasaran yang pada dasarnya tiada dan menjadi ada berkat kegiatan sukma atau akal
  3. Objek transenden [objek luar rasa], yaitu sasaran yang pada dasarnya ada, tetapi berada di luar jangkauan pikiran dan perasaan manusia

Sasaran secra global—(dua lingkup sasaran):

  1. alam, dobicarakan dalam kosmologi –[filsafat alam]
  2. manusia, dibahas dalam antropologi—[filsafat manusia]


Sepuluh lingkup sasaran secara detil:

  1. Hakikat [essence] ialah hal yang menjadikan sesuatu sebagai sesuatu hal tertantu [sebagai demikian]. Esensi adalah istilah yang berhubungan dengan hal yang pokok, tapi khusus
  2. Zat [substance], ialah sesuatu yang mengandung kualitas serta sifat kebetulan dan mendasari atau dipunyai sesuatu [barang jadi]
  3. Ada [being] ialah pengertian yang mencakup segala sesuatu, baik yang alami [pengalami] maupun yang akali [pikiran]
  4. Kenyataan [reality] ialah sesuatu yang ditangkap dalam tangkapan yang dapat dipercaya, yaitu tangkapan yang tidak mengandung kesalahan
  5. Keberadaan [existence] ialah keadaan tertentu yang lebih khsus dari sesuatu. Apa yang bereksistensi, tentu nyata ada, bukan sebaliknya, dan bersifat public [artinya objek itu sendiri harus ata dapat dialami olehbanyak orang yang melakukan pengamatan]
  6. Bahan [mater] ialah sesuatuyang menjadio sala barang sesuatu [barang jadi] dibuat. Materi menunjuk nama jenis substansi yang khusus dan mendasar dari alam fisik, yaitu lingkungan yang menimbulkan pengalaman indrawi
  7. Bentuk [form] ialah susunan [struktur] yang membedakan sesuatu dari sesuatu yang lain. Yang dimaksud bukan bangunnya.
  8. Perubahan [change] ialah apa yang terjadi pada saat sesuatu hal menjadi hal yang lain. Dengan kata lain, perubahan adalah peralihan sesuatu dari keadaan tertentu menjadi keadaan yang berbeda dengan keadaannya semula.
  9. Sebab [casuality] ialah sesuatu yang mendorong atau amenceghah sesuatu perubahan. Sebab—akibat merupakan keadaan berhubungan. Jadi, kasualitas serentak berkaitan dengan perhubungan dan perubahan sekaligus
  10. Hubungan [relation] ialah sesuatu kaitan atau ikatan [koneksi] antara dua hal atau beberapa hal. Relasi terdapat pada berbagai hal, berdasarkan ruang, waktu, kualitas, kuantitas, asal-usul, dll.

Mau ke mana?


Nah, setelah kita mempelajari beberapa tulisan pengantar mengenai filsafat, tentu muncul lagi pertanyaan dalam benak kita. Pertanyaan itu tidak lain daripada "Kita harus mulai belajar filsafatnya darimana?" Kalau ini memang pertanyaan Anda, maka pertanyaan ini kira-kira akan memiliki jawaban sebagai berikut.

Belajar filsafat sebenarnya dapat dimulai dari pertanyaan yang paling Anda sukai atau paling membuat Anda bingung. Kenapa demikian? ;-) Ini karena pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang akan memberikan energi kreatif buat Anda untuk belajar filsafat. Untuk lebih jelasnya, kita akan bahas dalam contoh di bawah ini.

Ani punya satu pertanyaan dalam hidup yang mungkin ia sukai. Pertanyaan itu adalah "Kenapa kucing disebut dengan kata 'kucing' atau gajah disebut dengan kata 'gajah'?". Atas pertanyaan ini, Ani juga sering membuat lelucon pada temannya dengan pertanyaan "Kenapa kucing ga disebut dengan 'gajah' atau gajah kenapa ga dibilang saja 'kucing'?". 

Pertanyaan Ani ini, walaupun hanya bercanda, tetapi punya akibat yang cukup jauh lho kalau kita pikirkan secara serius. (Walaupun sebenarnya ga serius-serius banget. Hehe... ) Ini berkaitan dengan asal-usul kata. Asal-usul kata atau bahasa kerennya adalah etimologi, sebenarnya berkaitan dengan pengetahuan kita sebagai manusia. Dalam kata yang kita pergunakan sehari-hari, itulah inti dari pengetahuan kita. Misalnya, ketika saya menggunakan kata 'globalisasi', saya semestinya sudah memahami arti kata ini sebelum memakainya. Jadi, pengetahuan saya atas globalisasi akan mewarnai cara saya menggunakan kata tersebut. Kalau pengetahuan saya tidak terlalu baik mengenai globalisasi, maka saya akan jarang menggunakan kata ini. Begitupun sebaliknya. (Tapi, jangan salah juga nih. Banyak di antara kita yang sering menggunakan kata globalisasi lho! Itu tuh, persis dilakukan oleh para kepala desa yang pengen dianggap pintar atau para calon kepala desa yang sok tahu dan biar dibilang keren. Hehe... Eh, maaf, hanya sebagian aja lagi. ;-) )

Kembali pada pertanyaan Ani, seekor kucing disebut dengan 'kucing' atau gajah disebut dengan 'gajah' ini karena kesepakatan. Walaupun ada banyak alternatif kata untuk kucing, seperti 'meong' atau 'puspus', tetapi kata 'kucing' lah yang dipilih oleh masyarakat sebagai istilah untuk hewan yang diberi nama kucing. Kalau masyarakat sepakat dengan kata 'gajah' untuk nama yang ditujukan bagi hewan yang sebenarnya bernama kucing, maka jadilah 'gajah' ini kata baru untuk hewan yang bernama kucing.

Dengan pertanyaan yang Ani ajukan, kita secara tidak langsung sebenarnya dibawa masuk pada ranah atau wilayah filsafat yang disebut dengan epistemologi dan sekaligus filsafat bahasa. Epistemologi adalah suatu cabang kajian utama dalam filsafat yang mempelajari bagaimana pengetahuan itu diperoleh, dibentuk, dan dipergunakan oleh manusia. Sedangkan filsafat bahasa, ini adalah cabang lain dari filsafat yang secara khusus mempelajari apa itu bahasa dan seluk-beluknya.

Oleh karena itu, pertanyaan mulai dari manakah kita harusnya belajar filsafat ditentukan oleh pertanyaan awal yang kita buat. Sebab, melalui pertanyaan yang kita buat akan menentukan arah kita belajar filsafat selanjutnya. Kita harus belajar apa dan mau ke mana kita menuju, semuanya kembali pada pertanyaan awal kita yang mendasar. Inilah yang mungkin dimaksud dengan directions in philosophy. So, buatlah satu pertanyaan terlebih dahulu yang paling menarik buat Anda sebelum belajar lagi filsafat bersama saya. ;-)




FILSAFAT ILMU DITAMPILKAN SETENGAH KOMIK

Mendengar kata filsafat ilmu identik dengan sebuah sajian yang perlu kegiatan mengkerutkan dahi, ditambih harus berpusing-pusing. Sudah menjadi perbincangan umum bahwa mempelajari filsafat itu harus ekstra cermat dan masih ditambah lagi kemampuan memeras otak. Kadang juga dimitoskan bahwa tidak setiap orang memilki kemampuan untuk mencerna pembelajaran filsafat, dan hanya harus khusus yang memilki kepandaian tertentu. Itu semua tidak benar. Dan mitos itu harus ditanggalkan.
Seorang-orang dokter bernama Djohanjah Marzoeki ingin menghapus stigma negative, jika mempelajari filsafat itu tidak sulit. Kini pak dokter bersolusi, membuat buku filsafat ilmu dibuat mudah, dengan punuh visualisasi, sehingga lahir buku “setengah komik”
Siapa saja yang ingin mudah, silakan membaca.
Data buku
JUDUL: Budaya Ilmiah dan Filsafat Ilmu
PENULIS: Djohanjah Marzoeki
PENERBIT: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jl. Palmerah Selatan 22-28, Jakarta 10270
ISBN: 979-669-808-0
CETAKAN : I—2000
[buku ini di editori oleh—R.Masri Sareb Putra, seorang-orang yang piawai dalam bidang penerbitan]

THOMAS KHUN: THE STRUCTUR OF SCIENTIFIC REVOLUTION


SADAPAN BUKU THOMAS KUHN :

JUDUL: Thomas Kuhn dan Perang Ilmu
PENULIS: Zianuddin Sardar
PENERBIT: Jendela. Jl. Gejayan Gg. Buntu II No. 5A . Mrican Yoguakarta 55281 Telp. 0274-518886. E-mail: jendela_press@kompascyber.com
ISBN: 979-95978-99-3
CETAKAN: I—Oktober 2002
Tebal : vii + 80; 11 x 175 cm
[Judul Asli Thomas Kuhn and the Science Wars. UK: Icon Books dan USA: Totem Books, 2000—penerjemah : Sigit Djatmiko]
-------:

Munculnya sebuah buku “Structure of Scientific Revolutions” pada tahun 1962, yang dikreasi oleh seorang-orang yang dilahirkan di Cincinnati, Ohaio. Dia adalah Thomas Kuhn. Pada tahun 1922 Kuhn belajar Fisika di Havard University, kemudian melanjutkan studinya di pascasarjana, dan memutuskan pindah ke bidang sejarah ilmu.
“Structure of Scientific Revolutions”, banyak mengubah persepsi orang terhadap apa yang dinamakan ilmu. Jika sebagian orang mengatakan bahwa pergerakan ilmu itu bersifat linier-akumulatif, maka tidak demikian halnya dalam penglihatan Kuhn.
Menurut kuhn, ilmu bergerak melalui tahapan-tahapan yang akan berpuncak pada kondisi normal dan kemudian “membusuk” karena telah digantikan oleh ilmu atau paradigma baru. Demikian selanjutnya. Paradigma baru mengancam paradigma lama yang sebelumnya juga menjadi paradigma baru.
Perspektif Kuhn:
Kuhn memandang ilmu dari perspektif sejarawan profesonal tertentu. Ia mengekplorasi tema-tema yang lebih besar, misalnya seperti apakah sesungguhnya ilmu itu di dalam pratiknya yang nyata, dengan analisis konkret dan empiris. Di dalam Structure ia menyatakan bahwa ilmuwan bukanlah para penjelajah berwatak pemberani yang menemukan kebenaran-kebenaran baru. Mereka lebih mirip para pemecah teka-teki yang bekerja di dalam pandangan dunia yang sudah mapan. Kuhn memakai istilah “paradigma” untuk menggambarkan system keyakinan yang mendasari upaya pemecahan teka-teki di dalam ilmu.
Menurut Kuhn, ilmu berkembang melalui siklus-siklus; ilmu normal diikuti oleh revolusi yang diikuti lagi oleh ilmu normal dan kemudian diikuti lagi oleh revolusi.

SADAPAN SINGKAT TENTANG EPISTEMOLOGI DASAR


SADAPAN SINGKAT TENTANG EPISTEMOLOGI DASAR
[Pengantar Dilsafat Ilmu Pengetahuan ]
Data Buku
JUDUL: Epistemologi dasar [Pengantar Filsafat Pengetahuan]
PENULIS: J.Sudarminta
PENERBIT : Kanisius. Jl. Cempaka 9, Deresan, Yogyakarta 55281. Kotak Pos 1125/Yk Telp. [0274] 588783, 565996. Website: http://www.kanisiusmedia.com/. E-mail : office@kanisiusmedia.com
CETAKAN : I—2002
ISBN: 979-21-0181-0
TEBAL: 196 hlm.


TERMINOLOGI:
Cabang ilmu filsafat yang secara khusus menggeluti pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menyeluruh dan mendasar tentang pengetahuan disebut Epistemologi. Istilah “epistemologis” sendiri berasal dari kata Yunani episteme=pengetahuan dan logis=perkataan, pikiran, ilmu. Kata”episteme” dalam bahasa Yunani berasal dari kata kerja epistamai, artinya mendudukan, menempatkan, atau meletakkan. Maka, harfiah episteme bearti pengetahuan sebaya upaya intelektual untuk “menempatkan sesuatu dalam kedudukan seteptnya.” Selain kata “episteme”, untuk kata “pengetahuan” dalam bahasa Yunani juga dipakai kata “gnosis”, maka istilah epistemologi’ dalam sejarah pernah juga dipakai kata”gnosis”, maka istilah “epistemology” dalam sejarah pernah juga disebut “gnoseologi”. Sebagai kajian kritis filosofis yang membuat telaah kritis dan analitis tentang dasar-dasar teoritis pengetahuan, epistemology kadang juga disebut teori pengetahuan [theory of knowledge; erkentnistheorie]

MAKSUD KAJIAN
Epistemologi bermaksud mengkaji dan mencoba menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia. Bagaimana pengetahuan itu pada dasarnya diperoleh dan diuji kebenarnnya?Manakah ruang lingkup atau batas-batas kemampuan manusia untuk mengetahui ?
Epistemologi juga bermaksud mengkaji pengandaian-pengandaian dan syarat-syarat logis yang mendasari dimungkinkannya pengetahuan itu. Epistemologi juga mencoba memberi pertanggungjawaban rasional terhadap klaim kebenaran dan obyektivitasnya.
Dari maksud itu, maka Epistemologi dapat dinyatakan suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluatif, normative, dan kritis. Evaluatif berarti bersifat menilai. Epsitemologi menilai apakah keyakinan, sikap, pernyataan pendapat, teori pengatahuan dapat dibenarkan, diajamin kebenarannya, atau memiliki dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara nalar.

RASIONAL MENGAPA MEMPELAJARI EPISTEMOLOGI
Sekurang-kurangnya ada tiga alas an yang dapat dikemukakan mengapa epistemology perlu dipelajari.
  1. Alasan pertama: berangkat dari pertimbangan strategis
  2. Alasan kedua; dari pertimbangan kebudayaan
  3. Alasan ketiga: berangkatdari pertimbangan pendidikan.

Pertimbangan Strategis: Pengetahuan adalah kekuasaan [Knoledge is power. Pengetahuan mempunyai daya kekuatan untuk mengubah keadaan. “Apabila pengetahuan adalah suatu kekuatan yang telah dan akan terus membentuk kebudayaan, menggerakan dan mengubah dunia, sudah semestinyalah apabila kita berusaha memahami apa itu pengethauan, apa sifat dan hakikatnya , apa daya dan ketebatasnnya, apa kemungkinan permasalahannya.
Pertimbangan Kebudayaan: Mempelajari epistemology diperlukan pertama-tama untuk mengungkap pandangan epistemologis yang sesungguhnya ada dan terkandung dalam setiap kebudayaan. Setiap kebudayaan, entah secara implicit ataupun ekplisit, entah hanya lisan atau tulisan , entah secara sistematis ataupun tidak, selalu memuat pandangan tentang pengetahuan.

Pertimbangan pendidikan: berdasarkan pertimbangan pendidikan epistemology perlu dipelajarai karena manfaatnya untuk bidang pendidikan. Pendidikan sebagai usaha sadar untuk membantu peserta didik mengembangkan pandangan hidup, sikap hidup dan ketrampilan hidup, tidak dapat lepas dari penguasaan pengetahuan. Proses Belajar Mengajar dalam konteks pendidikan selalau memuat unsure penyampaian pengetahuan, ketrampilan, dan nilai-nilai.

Belajar Filsafat atau Berfilsafat?

Dalam mempelajari filsafat, sebenarnya ada dua model yang mungkin dapat kita pakai sebagai pilihan. Pertama, mempelajari filsafat secara teoretis, dan yang kedua, mempelajari filsafat secara praktis. Pada pilihan yang pertama, kita dihadapkan pada keharusan untuk belajar filsafat secara teknis dari buku-buku, seminar, kursus, ataupun melalui perkuliahan di pendidikan tinggi. Apa yang kita pelajari di sini adalah "pikiran orang lain tentang filsafat". Ini sama artinya kita dituntut untuk memahami orang lain dalam kerangka sejarah berpikir umat manusia.

Dalam model yang kedua, ketika kita mempelajari filsafat secara praktis, maka kita akan belajar filsafat melalui hal-hal yang sederhana. Jalan ini sebenarnya sudah dipraktekkan jauh-jauh hari sebelum abad masehi oleh Thales dari Miletos, Yunani. Beliau mempelajari alam sekitarnya untuk mendapatkan kesimpulan bahwa hakikat segala sesuatu terletak pada air sebagai zat yang paling mendasar. Jadi, melalui pemahaman Thales akan dunia sekitarnya, filsafat dipraktekkan sebagai jalan untuk memahami sesuatu. Pada konteks ini, sesuatu yang ingin dipahami Thales adalah dunia.

Nah, sehubungan dengan dua model belajar filsafat ini, maka kita dapat saja memilih salah satunya. Bila jalan pertama yang ditempuh, pada tingkatan yang lebih lanjut, Anda akan terarah menjadi seorang "ahli filsafat". Sedangkan bila jalan kedua yang ditempuh, Anda akan terarah menjadi "filsuf". Lalu, apa bedanya ahli filsafat dengan filsuf?

Ahli filsafat sebenarnya lebih banyak menguasai teori yang diungkapkan oleh para filsuf tentang hakikat sesuatu. Dia ini bekerja untuk menguji benar tidaknya teori-teori filsafat secara akademis. Bila seorang ahli filsafat mampu mengkritik dan membangun suatu pandangan baru dari teori filsafat yang diujinya, maka ahli filsafat statusnya bergeser menjadi filsuf.

Khusus untuk filsuf, dia ini sebenarnya adalah orang yang mempraktekkan filsafat baik secara langsung ataupun tidak langsung, hingga dia mendapatkan kesimpulan atas hakikat sesuatu hal yang berbeda dari pandangan kebanyakan orang umumnya. Pandangannya atas sesuatu hal biasanya sangat khas dan merupakan pandangan yang baru untuk sesuatu halnya itu. Filsuf tidak mesti berasal dari ahli filsafat karena mungkin saja seseorang punya suatu teori filsafat tanpa harus belajar filsafat secara teknis. Namun, seseorang akan bergelar sebagai filsuf bila ia diakui telah menelurkan teori filsafat yang dapat diuji secara akademis.

Dengan demikian, belajar filsafat dapat memiliki beberapa maksud. Ada maksud hanya ingin mengetahui filsafat itu seperti apa, ada yang belajar filsafat karena tertarik dengan apa yang dipelajarinya, ada yang karena ingin menjadi seorang ahli filsafat atau filsuf, atau belajar filsafat karena suatu kebutuhan. Barangkali, yang terakhir inilah yang menjadi maksud saya untuk belajar filsafat. ;-)

Mengapa Belajar Filsafat?

Aduh, ditanya lagi? Kenapa harus memulai dengan pertanyaan sih? Apa ga bisa dimulai dengan pernyataan aja? 

Ini yang mungkin ada dalam benak kita ketika membaca judul di atas. Tapi, jangan heran, sebab filsafat ternyata mengajarkan kita untuk bertanya terlebih dahulu sebelum sampai di wilayah filsafat itu sendiri. Kalau kita sudah membuat satu pertanyaan penting dalam hidup kita, maka kita akan berjalan menuju wilayah filsafat dengan pasti. Jadi, sudahkah Anda membuat pertanyaan itu? ;-)

Misalnya begini. Apakah yang dinamakan blog itu? Secara sederhana tentu kita dapat menjawab bahwa blog adalah "satu tempat di mana kita dapat berekspresi secara bebas di dunia digital". Atau, mungkin Anda punya jawaban ini, blog adalah "diari elektronik".  

Nah, dari pertanyaan sederhana tentang blog saja kita sudah mendapat dua jawaban yang berbeda. Jawaban pertama kayaknya terlalu formal, dan jawaban yang kedua lebih mudah kita ingat. Ini sudah menimbulkan sedikit masalah sebenarnya, karena kita mungkin bingung untuk memilih jawaban yang pertama apa jawaban kedua. Atau, malah Anda punya jawaban lain? 

Bertambahnya jawaban, walaupun hanya satu, menandakan bahwa pikiran kita yang bingung mulai berkembang untuk mengatasi masalah tersebut. Ada jawaban A, B, hingga Z mungkin. Oleh karenanya, dibutuhkan kemauan dan kesanggupan kita untuk mengatasi masalah tersebut. Dalam konteks ini, filsafat sebenarnya membantu kita untuk menata persoalan. Dalam kasus di atas, kalau kita memiliki jawaban lain yang mengatakan bahwa blog itu adalah "cara baru untuk bertegur sapa", kenapa ga kita coba aja membandingkannya dengan jawaban di atas.

A --> Blog adalah "satu tempat di mana kita dapat berekspresi secara bebas di dunia digital".

B --> Blog adalah "diari elektronik".

C --> Blog adalah "cara baru untuk bertegur sapa".

(Wah, ini gimana ini maksudnya? Kok bikin pusing aja sih! Hikks ... Tenang, bentar lagi kok. Lebih baek Anda minum dulu es teh atau jus yang sudah dipesan. Ben seger lho belajarnya! Hehe ...)

Tiga pengertian ini kalau kita ambil yang pokoknya akan terdiri dari beberapa istilah penting, yaitu: "tempat", "ekspresi", "bebas", "dunia digital", "diari", "elektronik", "cara", dan "tegur sapa". Istilah-istilah ini kan bisa kita rangkai lagi menjadi pengertian baru menjadi:

Blog adalah "cara berekspresi di dunia digital atau diari yang kita buat secara elektronik dan menjadi tempat untuk bertegur sapa dengan bebas".

Nah lho! Muncul deh jawaban baru yang merangkum semua jawaban. Inilah gambaran sederhana bagaimana kita berfilsafat. Seperti yang sudah saya singgung dalam posting sebelumnya, filsafat itu adalah "cara untuk memahami sesuatu". Itu sudah kita terapkan pada langkah-langkah kita untuk menyarikan jawaban baru untuk pengertian blog dari tiga jawaban sebelumnya. 

So, inilah salah satu alasan kenapa kita belajar filsafat. Kita kan butuh satu cara untuk lebih memahami masalah-masalah kita; memahami keluarga, saudara, kerabat, sahabat, teman, teman dekat, pacar, "selingkuhan" (ni kalo punya lho! tapi dilarang keras menggunakan filsafat untuk mendapatkan selingkuhan y? hehe ...), kolega, orang asing, orang utan, dan macam-macam orang yang sejenis dengan "manusia"; juga yang terpenting memahami tujuan hidup kita sendiri. 

Pada tingkat yang lebih jauh, dengan belajar filsafat atau tepatnya belajar memahami secara lebih baik, kita tidak akan menjadi egois alias mengaku yang paling benar. Kalau ada di antara kita yang tukang nyalahin orang itu berarti dia belum belajar filsafat. Dia hanya "belajar teori filsafat". Jadi, maukah Anda belajar filsafat bersama saya? ;-)

Apa itu Filsafat?

Wah, belum apa-apa kok kita dah disuguhin pertanyaan yang berat. ;-) Anda sanggup menjawab pertanyaan ini? Kalau iya, silahkan posting dalam komentar di bawah ini. 

Kalau tidak, mari kita coba untuk menjawabnya bersama-sama. Kalau kita menilik sejarahnya, kata filsafat ini berasal dari bahasa Yunani, Philosophia. Terdiri dari dua bentukan kata, philos dan sophos atau philein dan sophia. Philos dapat bermakna "sahabat" atau "teman", sedangkan sophos berarti "kearifan". Sementara itu, philein tidak lain daripada "mencintai" dan sophia adalah "kebijaksanaan". 

Dengan pemahaman serupa ini, paling tidak sudah ada sedikit pemahaman akan pengertian pertama dari filsafat. Namun demikian, kenapa ini disebut pengertian pertama? Ya, ini memang pengertian pertama. Sebab, kalau kita sudah membuka kamus atau buku filsafat yang seabreg-abreg itu, pengertian filsafat akan sesuai dengan pengertian penulisnya. Beberapa penulis mungkin akan mencapai kata sepakat tentang pengertian ini, sedangkan banyak yang lainnya malah berdebat seumur hidup tentang apa itu filsafat. (Daripada berdebat seumur hidup dan akan membuat kita capek, mendingan kita pahami sedikit-sedikit aja ya? Hehe...) 

Walaupun begitu, kita juga dapat memahami apa itu filsafat dengan cara sederhana. Misalnya, kita dapat mendefinisikan filsafat sebagai "sejarah pemikiran". Ini karena kalau kita membaca teks-teks filsafat yang utama, maka kita akan dihadapkan pada rangkaian pemikiran yang dimulai dari semenjak masa Yunani Kuno hingga masa sekarang ini. Namun, orang boleh saja mengatakan bahwa awal mula filsafat berkembang semenjak masa India Kuno ataupun Cina Kuno. Ini bisa dibuktikan secara historis, walaupun lagi-lagi muncul suatu perdebatan karenanya. (Lho,kok debat lagi ya? Memang, ini kan kerjaan sebagian besar filsuf! Kalau ga debat, mereka akan kehilangan mata pencaharian tuh! ;-) ) 

Contoh lain, kita dapat membuat definisi yang baru bahwa filsafat itu adalah "cara untuk memahami sesuatu", atau bahasa kerennya adalah "a method to understanding". Alasan ketika memilih pengertian ini adalah karena pada saat kita belajar filsafat, kita dituntut untuk memamahami apa pun. Baik pemahaman tentang sesuatu yang sudah ada maupun pemahaman akan sesuatu yang mungkin dapat kita pikirkan. Jadi, saking luasnya materi pemahaman filsafat, orang dapat saja tersesat ketika mencoba untuk memahami filsafat. Bahwa ada yang mengatakan filsafat itu sesat atau menyesatkan, itu karena memang beliau ini khawatir kalau kita-kita sebagai pemula pembelajar filsafat akan bingung dan akhirnya mengalami "elol" hingga masuk rumah sakit jiwa. (Apa betul nih? Kok bikin takut aja! Hik hik... Ga usah takut, kita kan cuma akan sedikit memahami filsafat. Jadi, paling cuma agak puyeng-puyeng gitu. Saya jamin kok! ;-) ) 

Nah, karena ada kemungkinan yang belum mungkin terjadi itu, maka belajar filsafat dengan cara yang mudah itu memang dibutuhkan. Ini juga diupayakan karena banyak orang salah memahami filsafat. Sebab, seringkali orang yang bertanya pada saya tentang apa itu filsafat sudah memiliki asumsi negatif. Baik karena mereka tidak tahu atau karena mereka menganggap remeh masalah-masalah filsafat. Bagi mereka, orang yang berfilsafat (filsuf) hanya membuang-buang waktu saja dan melakukan pekerjaan sia-sia. Oleh karena itu, mari kita belajar filsafat terlebih dahulu sebelum kita mencapnya sebagai sesat atau kesia-siaan. Kan, orang juga ga boleh berpikiran negatif tentang orang lain. Mungkin ini aja dulu pengantar dari saya tentang apa itu filsafat. Sampai ketemu lagi!

Hai semuanya! Selamat datang di dunia filsafat.


Salam 

Ini adalah posting pertama saya untuk blog belajar filsafat. Blog ini saya buat untuk memudahkan saya belajar filsafat secara teratur dan mandiri. Syukur kalau misalnya ada teman-teman yang juga suka dengan blog ini. Bukannya apa-apa, ini karena belajar filsafat identik dengan rumit, sulit, sukar, 'ndakik', atau lainnya yang serba membuat orang mundur teratur ketika belajar filsafat. Padahal, setelah saya nekad berjibaku atau 'ber-ikicibung' dalam dunia filsafat, filsafat itu ga susah-susah amat. Yang sulit justru mempelajari diri sendiri, alias instropeksi. ;-) 

Nah, makanya blog ini hadir. Baik untuk saya secara pribadi atau untuk teman-teman yang suka dan mau membaca blog ini. Eh, iya, ini kan hari kemerdekaan. Mudah-mudahan posting saya yang pertama di hari kemerdekaan yang ke-63 ini menjadi tonggak bersejarah bagi saya. Merdeka untuk berdikari dan merdeka untuk lepas dari korupsi. Hehe ... (Tapi saya bukan termasuk daftar pencarian orang di KPK lho!) 

Oya, mungkin teman-teman yang tidak sabaran belum bisa melihat seperti apa sih belajar filsafat yang mudah itu. Doa'in aja, mudah-mudahan saya bisa segera menyiapkan posting kedua tentang materi belajar filsafat dengan "secara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya". 


Tasikmalaya, 17 Agustus 2008 



4im



PERSAMAAN DAN PERBEDAAN FILSAFAT DAN ILMU

CUPLIK BUKU:
[buku ini memiliki kekuatan ketika menjelaskan perbedaan dan persamaan antara filsafat dan ilmu]
Detil Buku:
JUDUL : Filsafat Ilmu
PENULIS : Dr. Amsal Baktiar, MA
PENERBIT: PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Jl. Pelepah hijau IV TN. I No. 14-15 Kelapa Gading Permai. Jakarta 14240. Telp. 4520051. E-mail: rajapers@indo.net.id
http://www.rajawalipers.com/
ISBN: 979-421-993-2
CETAKAN: Maret 2004
HALAMAN: 240 hlm; 12 cm



CIRI UTAMA ILMU:

  • Ilmu adalah sebagian pengetahuan bersifat koheren, empiris, sistematis, dapat diukur, dan dibuktikan. Berbeda dengan iman, yaitu pengetahuan didasarkan atas keyakinan kepada yang gaib dan penghayatan serta pengalaman pribadi
  • Berbeda dengan pengetahuan, ilmu tidak pernah mengartikan kepingan pengetahuan satu putusan tersendiri, sebaliknya ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang mengacu ke obyek [atau alam obyek] yang sama dan saling berkaitan secara logis. Karena itu, koherensi sistematik adalajh hakikat ilmu. Prinsip-prinsip obyek dan hubungan-hubungannya yang tercermin dalam kaitan-kaiatan logis yang dapat dilihat dengan jelas. Bahwa prinsip-prinsip logis yang dapat dilihat dengan jelas. Bahwa prinsip-prinsip metafisis obyek menyingkapkan dirinya sendiri kepada kita dalam prosedur ilmu secara lamban, didasarkan pada sifat khusus intelek kita yang tidak dapat dicarikan oleh visi ruhani terhadap realitas tetapi oleh berpikir
  • Ilmu tidak memerlukan kepastian lengkap berkenaan dengan masing-masing penalaran perorangan, sebab ilmu dapat memuat di dalamnya dirinya sendiri hipotesis-hipotesis dan teori-teori yang belum sepenuhnya dimantapan
  • Ciri hakiki lainnya dari ilmu ialah metodologi, sebab kaitan logis yang dicari ilmu tidak dicapai dengan penggabungan tidak teratur dan tidak terarah dari banyak pengamatan ide yang terpisah-pisah. Sebaliknya, ilmu menuntut pengamatan dan berpikir metodis, tertata rapi. Alat Bantu metodologis yang penting adalah terminology ilmiah. Yang disebut belakangan ini mencoba konsep-konsep ilmu.

DIFINISI ILMU MENURUT PARA AHLI

  • Mohammad Hatta, mendifinisikan ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kdudukannya tampak dari luar, amupun menurut hubungannya dari dalam
  • Ralp Ross dan Ernest Van Den Haag, mengatakan ilmu adalah yang empiris, rasional, umum dan sistematik, dan keempatnya serentak
  • Karl Pearson, mengatakan ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah sederhana
  • Ashely Montagu, Guru Besar Antropolo di Rutgers University menyimpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang disususn dalam satu system yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan untuk menetukan hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji.
  • Harsojo, Guru Besar antropolog di Universitas Pajajaran, menerangkan bahwa ilmu adalah:
    Merupakan akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan
    -------Suatu pendekatan atau mmetode pendekatan terhadap seluruh dunia empirisyaitu dunia yang terikat oleh factor ruang dan waktu yang pada prinsipnya dapat diamati panca indera manusia
    -------Suatu cara menganlisis yang mengizinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan suatu proposisi dalam bentuk: “jika,….maka…”
  • Afanasyef, seorang pemikir Marxist bangsa Rusia mendefinisikan ilmu adalah pengetahuan manusia tentang alam, masyarakat, dan pikiran. Ia mencerminkan alam dan konsep-konsep, kategori dan hukum-hukum, yang ketetapnnya dan kebenarannya diuji dengan pengalaman praktis.


PERSAMAAN DAN PERBEDAAN FILSAFAT DAN ILMU

PERSAMAAN:

  • Keduanya mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki obyek selengkap-lengkapnya sampai ke-akar-akarnya
  • Keduanya memberikan pengertian mengenai hubungan atau koheren yang ada antara kejadian-kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukkan sebab-akibatnya
  • Keduanya hendak memberikan sistesis, yaitu suatu pandangan yang bergandengan
  • Keduanya mempunyai metode dan sistem
  • Keduanya hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan seluruhnya timbul dari hasrat manusia [obyektivitas], akan pengetahuan yang lebih mendasar.

PERBEDAAN:
  • Obyek material [lapangan] filsafat itu bersifat universal [umum], yaitu segala sesuatu yang ada [realita] sedangkan obyek material ilmu [pengetahuan ilmiah] itu bersifat khusus dan empiris. Artinya, ilmu hanya terfokus pada disiplin bidang masing-masing secra kaku dan terkotak-kotak, sedangkan kajian filsafat tidak terkotak-kotak dalam disiplin tertentu
    Obyek formal [sudut pandangan] filsafat itu bersifat non fragmentaris, karena mencari pengertian dari segala sesuatu yang ada itu secara luas, mendalam dan mendasar. Sedangkan ilmu bersifat fragmentaris, spesifik, dan intensif. Di samping itu, obyek formal itu bersifatv teknik, yang berarti bahwa cara ide-ide manusia itu mengadakan penyatuan diri dengan realita
  • Filsafat dilaksanakan dalam suasana pengetahuan yang menonjolkan daya spekulasi, kritis, dan pengawasan, sedangkan ilmu haruslah diadakan riset lewat pendekatan trial and error. Oleh karena itu, nilai ilmu terletak pada kegunaan pragmatis, sedangkan kegunaan filsafat timbul dari nilainnya
  • Filsafat memuat pertanyaan lebih jauh dan lebih mendalam berdasarkan pada pengalaman realitas sehari-hari, sedangkan ilmu bersifat diskursif, yaitu menguraikan secara logis, yang dimulai dari tidak tahu menjadi tahu
  • Filsafat memberikan penjelasan yang terakhri, yang mutlak, dan mendalam sampai mendasar [primary cause] sedangkan ilmu menunjukkan sebab-sebab yang tidak begitu mendalam, yang lebih dekat, yang sekunder [secondary cause]

BONGKAR BUKU TENTANG EPISTEMOLOGI

Epistemologi selalu menjadi bahan yang menarik untuk dikaji, karena disinilah dasar-dasar pengetahuan maupun teori pengetahuan yang diperoleh manusia menjadi bahan pijakan. Konsep-konsep ilmu pengetahuan yang berkembang pesat dewasa ini beserta aspek-aspek praktis yang ditimbulkannya dapat dilacak akarnya pada struktur pengetahuan yang membentuknya. Dari epistemologi, juga filsafat –dalam hal ini filsafat modern – terpecah berbagai aliran yang cukup banyak, seperti rasionalisme, pragmatisme, positivisme, maupun eksistensialisme
Secara etimologi, epistemologi merupakan kata gabungan yang diangkat dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme artinya pengetahuan, sedangkan logos lazim dipakai untuk menunjukkan adanya pengetahuan sistematik. Dengan demikian epistemologi dapat diartikan sebagai pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Webster Third New International Dictionary mengartikan epistemologi sebagai "The Study of method and ground of knowledge, especially with reference to its limits and validity"
Gudang kami memiliki koleksi berbagai buku yang sengaja membahahas Epistemologi, dan akan kami bongkar buku per buku

FILSAFAT ILMU CITARASA ISLAMI


Citarasa Islamic nampak pada buku “Filsafat Ilmu” [dari hakikat menuju nilai], karya Drs.Cecep Sumarna, M.Ag.
Dalam buku dihadirkan pemikirdan filosof muslin. Seperti Ibnu Rusyd [1198 M] yang di Barat lebih kenal dengan Averoes, Al Farabi [950M], Ibnu Sina [1037M] yang familiar disebut Avicenna, serta Al Raji [1209M].
Menurut penulis buku ini, para filosof Muslim telah mampu menyusun kerangka epistemology ilmu dan filsafat ilmu dalam tiga bingkai yang sangat luar biasa perkembangannya.
Kelompok ini menawarkan tiga metodologi yang mendasari lahirnya epistemology ilmu pengetahuan. Tentunya memiliki perbedaan dengan epistemology Yunani, yang cenderung membatasi pengetahuan hanya pada ranah empirisme dan rasionalisme.
Para filosof muslim melihat bahwa epistemology penngetahuan terdiri dari tiga yakni:



  1. Bayani
  2. Irfani
  3. Burhani.

Bayani:
Bayani adalah sebuah model metodologi berfikir yang didasarkan atas teks kitab sufi. Teks suci menurut metodologi ini dianggap memiliki otoritas penuh untuk memberikan arah dan makna terhadap kebenaran. Rasio hanya digunakan sebagai pengawal sekaligus memberikan pengamanan otoritas teks
Irfani:
Irfani adalah model metodologi berfikir yang didasarkan atas pendekatan dan pengalaman langsung [direct experience] atas realitas spiritual keagamaan. Oleh karena sasaran bidiknya adalah esoteric atau bagian batin teks. Rasio dimanfaatkan untuk menjelaskan pengalaman spititual.
Burhani:
Burhani adalah kerangka berfikir yang tidak didasarkan atas teks suci, maupun pengalaman. Sasaran bidiknya eksoteris, sehingga cara kerjanya atas dasar keruntutan logika. Pada tahap tertentu, keberadaan teks suci dan pengalaman spiritual dapat diterima jika sesuai dengan aturan logis. [Hlm 13]

Dalam memaparka makna filsafat ilmu citarasa hakikat nilai-nilai selalau dikedepankan, hal ini sangat bertautan dengan judul buku ini. “Filsafat Ilmu dari Hakikat menuju nilai”
Makna Filasafat Ilmu:
Dilihat dari obyek kajiannya, filsafat ilmu mempersoalkan dan mengkaji segala persoalan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan.

  1. Filsafat ilmu memfokuskan pembahasan dalam metodologi pengetahuan. Ilmu merupakan salah satu cara untuk mengerti bagaimana budi manusia bekerja. Ilmu pengetahuan merupakan karya budi yang logis dan imajinatif. Ilmu bersifat empiris, sistematis, observatif dan obyektif.
  2. Filsafat ilmu bertugas membuka pikiran manusia agar mempelajari dengan serius proses logic dan imajinatif dalam cara kerja ilmu pengetahuan
  3. Filsafat ilmu berbicara tentang metode ilmu pengetahuan, bagaimana pengembangannya dan bagaimana prinsip-prinsip penerapannya.
  4. Filsafat ilmu menjadi bagian dari epistemology [filsafat pengetahuan]. Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu.
  5. Filsafat ilmu merupakan telaah secara filsafati yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu: [hlm:40]

Ditilik dari Judul Buku, penulisnya Drs. Cecep Sumarna, M.Ag ingin mengedepankan filsafat ilmu dalam ranah hakikat nilai. Oleh karenya buku ini menorehkan pentingnya ilmu dari pilar nilai dan kegunaannya, yang sering disebut dengan “Aksiologi”.
Sorotan Hakikat nilai:

Menurut buku ini Archie J. Bahm disebut sebagai salah satu figure kunci ilmuwan yang menghendaki adanya nilai dalam ilmu pengetahuan. Melalui bukunya what is Science yang ditulis pada tahun 1980, menggambarkan kegelisahan Archie J.Bahm terhadap perkembangan ilmu di dunia Barat kontemporer yang hampir sama sekali mengabaikan nilai. Dalam bukunya, ia menghendaki adanya pengakuan akan pentingnya aksiologi dan nilai-nilai bagi ilmu. [Hlm: 117]
Menurutnya, masalah yang amat kental adalah adanya dampak negative teknologi sebagi akibat ilmu dan teknologi tidak dilengkapi dengan aksiologi, etika, religiousitas dan sosiologi. Ilmu telah ditempatkan seolah sama sekali bebas nilai.
Fenomena hancurnya Kota Hiroshima dan Nagasaki Jepang yang dibom sekutu [1945] dan telah meluluh lantakan dua Kota besar Jepang itu, menggugah para ilmuwan untuk merefleksikan kejadian tersebut.
Muncullah pertanyaan-pertanyaan dari hasil refleksi antara lain:
Apakah pengeboman tersebut bersifat susila?, apakah penggunaan bom yang demikian dahsyat itu dapat dibenarkan?
Kondisi lain juga dipaparkan sebagai wujud pengabaikan “aksiologi”, yakni pencemaran lingkungan di mega-mega politan dan eksploitasi berlebihan terhadap sumber alam.
Hasil seni juga disoroti, seperti film-film yang semakin jauh meninggal nilai-nilai susila. [Hlm: 119].
Sebenarnya perkembangan nilai-nilai dalam ilmu pengetahuan, telah lama berlangung. Zaman Yunani kuno, khususnya ketika plato menyatakan:”Sumum Bonum ‘ [kebaikan tertinggi]. Telah tergambarkan bahwa ilmu pengetahuan lahir dengan sah ketika memberikan kontribusi pada kemaslahatan manusia. Apabila ilmu telah mengantongi nilai-nilai itu, maka dapat diindikasikan telah memasuki domain kebaikan tertinggi.
Di Zaman pertengahan , Thoma Aquinas membangun pemikiran tentang pentingnya nilai tertinggi sebagai penyebab final [causa prima] dalam diri Tuhan sebagai keberadaann kehidupan, keabadian dan kebaikan tertinggi.
Immanuel Kant tokoh penting aufklarung juga memperlihatkan hubungan natara pengetahuan dengan moral, estetika dan religius. [Hlm: 121]
Wusana kata :
Jadi buku ini titik beratnya pada “aksiologi”. Buku ini menyatakan bahwa ilmu pengetahun dalam melihat keberadaan [ontology], dan capaiannya dengan metodologi [epistemology] tidaklah cukup. “Aksiologi” memberikan bintang pengarah, bahawa ilmu pngetahuan harus berada pada koridor nilai-nilai. Mulai dari manfaatnya hari ini dan hari esok. Eksplotasi sumber daya alam, yang mengabaikan nilai-nilai, adalah suatu upaya pemusnahan hakikat keberadaan manusia itu sendiri.
Ilmu pengetahaun yang melahirkan teknologi harus dibingkai dengan nilai-nilai, etika, estetika, dan religiousitas. Tanpa bingkai tersebut kehancuran dunia tidak terlalu lama menunggu waktu. Fenomena hancurnya dua kota di Jepang 1945 akibat bom atom, membangun pikiran-pikiran jernih dan menanyakan secara mendalam apakah keguanaan ilmu itu sendiri]
DETAIL BUKU:
JUDUL : Filsafat Ilmu dari Hakikat menuju nilai.
PENGARANG : Drs. Cecep Sumarna, M.Ag.
PENERBIT: Pustaka Bani Quraisy. Jl. Sukanegara No. 7. Ters. Indramayu, Antapani Bandung 40291. Phone, Fax : [022-7200538]. E-mail : pbq_bandung@yahoo.com.
Dan pbq_bdg@hotmail,com
ISBN : 979-3576-31-6
CETAKAN : 2004
JUMLAH HALAMAN: 172.