FILSAFAT ILMU: ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, AKSIOLOGI, DAN LOGIKA ILMU PENGETAHUAN

Sebelumnya telah diterbitkan (2007-2008) dengan judul Filsafat Ilmu dan Logika. Pada penerbitan ini, judul diubah sesuai dengan isi yang terdapat didalamnya, sehingga judul yang dipilih adalah, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika Ilmu Pengetahuan. Judul ini menurut penulisnya dianggap tepat dan lengkap karena judul menyerminkan landasan utama dalam membahas filsafat ilmu, melalui empat pilar utamanya. Terkait denganjudul bahasan berpusar pada Bab keempat, bab kelima dan bab ketujuh.
Bab keempat, menjelaskan tentang landasan penelaahan ilmu, dan yang dibahas meliputi ontologi, epistemologi, aksiologi, yang selanjutnya dikaitkan dengan signifikansi ilmu pengetahuan kembali ke filsafat. Selanjutnya bab empat ini juga membentangkan relevansi Ontologi, Epitemologi dan Aksiologi dengan Ilmu Politik. Relevansi Ontologi, epistemologi dan aksiologi juga dikaitkan dengan Ilmu antropologi. Gudang filsafat ini tertarik untuk membahas kedua relevansi tersebut.
Bab kelima, menjelaskan tentang struktur atau bangunan ilmu pengetahuan terdiri dari: metode ilmiah; teori; hipotesis; logika, data informasi, pembuktian, evaluasi dan paradigma
Bab ketujuh membahas tentang logika ilmu dan metode berfikir dan metode ilmiah, engertian metode berfikirbilmiah logika, pengertian logika dan penlaran ilmiah, macam-macam logika, kegunaan logika, bahasa keilmuan, model dan kriteria motode berfikir ilmiah, metode berfikir rasional: asas dalam berpikir, serta hal-hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan metode rasional.
RELEVANSI ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, AKSIOLOGI TERHADAP ILMU POLITIK DAN ANTROPOLOGI.
Buku ini mengangkat Relevensi pilar keilmua Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi dikaitkan dengan Ilmu Politik dan Antropologi, tentunya memiliki alasan kuat mengapa hanya dikaitkan dengan Ilmu Politik dan Antropologi?
Gudang Filsafat ini memandang bahwa buku ini sengaja dirancang untuk kebutuhan pembelajaran mahasiswa di departemen Antropologi dan Ilmu-ilmu Politik. Barangkali inilah yang mendorong diunggahnya relevansi Antropologi dan Ilmu Politik terhadap pilar keilmuan (Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi).
Selanjutnya tingkat relevansi diurai jelas sebagai berikut:
Dasar ontologi ilmu. Pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari ilmu politik. Adapun...belum tuntas.
Data buku
JUDUL: Filsafat Ilmu : ontologi, Epistemologi ,Aksi0ologi dan Logika Ilmu Pengethauan
PENULIS: Drs.H. Muhammad Adib, MA
PENERBIT: Pustaka Pelajar Celeban Timur UH III/548 Yogyakarta 55167. tELP: (0274) 381542. E-mail; pustakapelajar@telkom,net
ISBN: 978-602-8479-93-6
TEBAL: xxv + 280 halaman; 21 cm
CETAKAN: Edisi ke 2 Cet Pertama Pebruari 2010
[]

FILSAFAT ILMU

Buku ini didesain sebagai wacana filsafati untuk siapa saja yang tertarik untuk mengembangkan wawasan filsafati. Tidak ada segmen khusus, namun bagi siapa saja yang sesungguhnya berminat di ranah filsafat utamanya filsafat ilmu, buku ini akan memberikan bantuan. Melalui buku maka refleksi pikir yang mendasar dan integral terkait hakikat ilmu pengetahuan akan mudah dipahami. Dengan tidak terasa akan trampil dalam menilai metode-metode pemikiran ilmiah, sekaligus juga akan memproses sikap ilmiah. Materi dalam buku ini disusun berdasarkan pendekatan/sistematika filsafat ilmu :Ontologi, Epistemologi, dan aksiologi. Adapun cakupan meteri yang dibentangkan buku ini antara lain:
  • Sejarah perkembangan ilmu
  • Filsafat, ilmu dan filsafat lmu
  • Dasar-dasar pengetahuan
  • Dimensi Keilmuan
  • Sarana berfikir ilmiah
  • Ilmu dan teknologi
  • Ilmu dalam strategi insani
[]. CATATAN RINGAN YANG MEMBANTU.
(Manfaat mempelajari filsafat)
  • Filsafat menolong mendidik, membangun diri kita sendiri: dengan berpikir lebih mendalam, kita mengalamai dan menyadari kerohkanian kita. Rahasia hidup yang kita selidiki justru memaksa kita berpikir, untuk hidup dengan sesadar-sadarnya, dan memberikan isi kepada hidup kiota sendiri.
  • Filsafat memberikan kebiasaan dan kepandaian untuk melihat dan memecahkan persoalan-persoalan dalam hidup sehari-hari. Orang yang hidup secara dangkal saja, tidak mudah melihat persoalan-persoaln, apalagi melihat pemecahannya. Dalam filsafat kita dilatih melihat lalu apa yang menjadi persoalan, dan ini merupakan syarat mutlak untuk memecahkannya
  • Filsafat memberikan pandangan yang luas, membendung akuisme dan akusentrisme (dalam segala hal hanya melihat dan mementingkan kepentingan dan kesenangan si aku)
  • Filsafat merupakan latihan untuk berpikir sendiri, hingga kita tak hanya ikut-ikutan, membuntut pada pandangan umum, percaya akan setiap semboyan dalam surat-surat kabar, mempunyai pendapat sendiri, berdiri sendiri, dengan cita-cita mencari kebenaran.
  • Filsafat memberikan dasatr-dasar, baik untuyk hidup kita sendiri (terutama dalam etrika) maupun untuk ilmu-ilmu pengetahuan lainnya, seperti sosiologi, ilmu jiwa,ilmu mendidik, dll
(Manfaat mempelajari filsafat ilmu)
Filsafat ilmu sebagai sarana pengujian penalaran ilmiah sehingga orang menjadi kritis terhadap kegiatan ilmiah. Maknanya seorang ilmuwan harus memilki sikap kritis terhadap bidang ilmunya sendiri, sehingga dapat menghindarkan diri dari sikap solipistik, yakni menganggap hanya pendapatnya yang paling benar
Filsafat ilmu merupakan usaha merefleksi, menguji, mengritik asumsi dan metode keilmuan. Sebab kecenderungan yang terjadi di kalangan para ilmuwan menerapkan suatu metode ilmiah tanpa memperhatikan struktur ilmuu pengetahuan itu sendiri. Satu sikap yang sesuai diperlukan di sini adalah menerapkan metode ilmiah yang sesuai yang sesuai dengan struktur ilmu pengetahuan, bukan sebaliknya.
Data buku
JUDUL
(Belum tuntas)

Logika (6), Model Dialektika Hegelian

Mohon maaf kepada para pembaca blog Belajar Filsafat ini. Saya belum sempat membuat posting yang baru karena kesibukan di kampus. Namun, kali ini saya memaksakan diri untuk menulis kembali buat blog ini. Selamat membaca! ^_^

Bahasan kita kali ini adalah satu model dialektika yang diperkenalkan oleh Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770 - 1831). Beliau ini adalah salah satu filsuf Jerman yang paling masyhur dan menjadi banyak rujukan dari pemikiran Idealisme pada masa sekarang ini. Idealisme yang dimaksud adalah salah satu jenis pemikiran yang mengutamakan ide atau gagasan sebagai sumber kebenaran. Biasanya, Idealisme dilawankan dengan Empirisisme atau jenis pemikiran yang mengutamakan pengalaman atas kenyataan sebagai sumber kebenarannya.

Nah, kembali pada model dialektika Hegel, model dialektikanya merupakan salah satu yang tersulit dipahami dalam sejarah filsafat modern. Ini dikarenakan Hegel berbicara dalam tingkatan yang sangat teoretis dan tidak membicarakan hal-hal yang bersifat praktis. Apalagi, filsafat Hegel memiliki dasar pemikiran pada sesuatu yang sangat abstrak, yaitu filsafat "roh". Walaupun demikian, kita tidak perlu panjang lebar membicarakan dasar filsafatnya ini. Sebab, ini belum waktunya kita masuk dalam pembahasan filsafat yang rumit tersebut. (Iya, ni kan belajar filsafatnya harus yang gampang-gampang dulu. ;-) )

Model dialektika Hegel ini adalah yang lazim dikenal sebagai:

tesis - antitesis - sintesis

Tesis secara sederhana dipahami sebagai "suatu pernyataan atau pendapat yang diungkapkan untuk sesuatu keadaan tertentu".
Misalnya: "Tanah ini basah karena hujan".
Antitesis adalah "pernyataan lain yang menyanggah pernyataan atau pendapat tersebut".
Misalnya: "Hari ini tidak hujan".
Sintesis adalah "rangkuman yang menggabungkan dua pernyataan berlawanan tersebut sehingga muncul rumusan pernyataan atau pendapat yang baru".
Misalnya: "Oleh karena hari ini tidak hujan, tanah ini tidak basah karena hujan."

Model dialektika di atas ini mungkin penyederhanaan atas apa yang dibicarakan Hegel. Tapi, kira-kira seperti inilah pola dialektika secara umum. (Mudah-mudahan apa yang saya bicarakan dengan contoh di atas tidak terlalu jauh dari apa yang memang dimaksudkan sebagai model dialektika Hegel. Kalau salah, tolong dibenerin ya? :-) )

Model dialektika ini sebenarnya sudah banyak kita praktekkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Pikiran yang satu disanggah dengan pikiran yang laennya. Namun, rumusan ilmiah atas itu memang baru dibuat secara "hebat" dan mulai terkenal dalam pemikiran filsafat semenjak diperkenalkan Hegel untuk menopang pandangan filsafatnya.

Akan tetapi, membaca pikiran Hegel itu tidak mudah. Sebab, membaca Hegel, sama dengan membaca pikiran tiga orang filsuf sebelumnya, yaitu: Immanuel Kant (1724 - 1804), Johan Gottlieb Fichte (1762 - 1814), Friedrich Wilhelm Joseph Schelling (1775 - 1854). Pada dua orang terakhir ini, Hegel mengambil saripati pikiran yang dikembangkan sebagai model dialektika. Sebagai gambaran sederhana, saya akan ringkaskan sedikit pandangan bagaimana Hegel itu sendiri "berdialektika" dengan Ficthe dan Schelling di bawah ini.

Pendapat Fichte yang terutama terletak pada pemahaman atas diri yang disebut "Aku" atau "Ego". Menurutnya, Aku ini merupakan unsur terpenting dalam diri manusia. Itu karena Aku adalah pribadi yang dapat melakukan permenungan. Ini seibarat pendapat Rene Descartes (1596 - 1650) yang mengatakan bahwa: Aku berpikir, maka Aku ada (bahasa keren latinnya, yaitu: Cogito ergo sum). Namun, dalam pikiran Fichte, Aku ini tidaklah sendiri. Aku ini menjadi sadar karena ada sesuatu yang di luar Aku. Dalam konteks ini, sesuatu yang di luar Aku dapat berupa Aku yang lain ataupun alam. Sehingga, dengan pergumulan Aku yang lain ini-lah, Aku menjadi sadar kalau dirinya terbatas. Begitupun sebaliknya dengan Aku yang lainnya itu. Bahasa sederhananya, ketika kita menyadari kehadiran orang lain, kita menjadi sadar kalau kita tidak sendiri. Dengan menyadari ketidaksendirian itu, kita pun menjadi sadar kalau kita dibatasi ataupun membatasi orang lain. Kita maupun orang lain menjadi tidak bebas.

Dalam model dialektika, pola pikir Fichte terumus demikian: Aku ini sadar (tesis) - Ada Aku lain (antitesis) - Aku dan Aku lain saling membatasi (sintesis).

Sedangkan pikiran Schelling, hal ini terungkap dalam kaitannya dengan permasalahan identitas. Schelling menolak Fichte yang mengutamakan Aku atas alam. Menurutnya, identitas Aku itu tidaklah bersifat subjektif (berciri "roh") ataupun objektif (berciri "materi"). Aku mengatasi keduanya. Oleh karena itu, Aku berciri mutlak atau absolut. Maksudnya, secara sederhana, andaikan saja Aku ini bukan pribadi. Maka, Aku akan mendapatkan ciri yang sangat abstrak. Sebab, ketika tadi dipahami bahwa alam adalah Aku yang lain, alam yang bukan pribadi mendapatkan status yang sama dengan manusia yang pribadi. Jadi, tidak ada bedanya antara manusia dan alam karena keduanya dapat dipandang sebagai Aku. (Hik... hik... bingung. Ada penjelasan lain yang lebih sederhana ga? Tolong ...!!! :-( )

Dalam model dialektika, pola pikir Schelling terumus demikian: Aku yang lain atau alam (tesis) - Aku individu atau manusia (antitesis) - Aku yang bukan materi dan roh (sintesis).

Berusaha mengatasi perdebatan antara Fichte dan Schelling, Hegel lalu merumuskan sesuatu yang "sederhana" dibandingkan dua pendapat filsuf itu. Pada satu sisi, ia mengkritik pandangan Fichte yang tidak menyelesaikan masalah pertentangan antara Aku dengan Aku yang lain. Sementara pada sisi yang lain, walaupun kagum dengan filsafatnya Schelling, Hegel mengatakan bahwa pendapat Schelling memiliki kelemahan karena tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan Aku absolut itu sendiri. Hegel lalu merumuskan pemahamannya atas masalah ini menjadi:

Idea (tesis) - Alam (antitesis) - Roh (sintesis)

Inilah apa yang dimaksudkan sebagai Aku absolut menurut pandangan Hegel. Bingung kan? Silahkan baca selengkapnya dalam tulisan Hegel maupun tulisan tentang Hegel. Hehe... (Bandingkan pula dengan apa yang dijelaskan di awal tentang model dialektika oleh saya. ;-) )

Ini karena saya harus memegang janji saya untuk tidak panjang lebar menjelaskan pandangan filsafat Hegel mengenai roh. Tetapi, apa yang saya sampaikan sudah menjelaskan bahwa model logika yang dikembangkan Hegel memang paling rumit dalam sejarah filsafat. Sampai jumpa dalam postingan berikutnya. ^_^

Referensi:
F. Budi Hardiman, 2007, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, cet. II, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.