Logika (10), Tiga Prinsip Dasar Pengolahan Istilah dan Pernyataan

Kira-kira, dalam artikel ini sebaiknya dibahas apalagi ya? Bingung juga sih. Soalnya, kalo kita belajar logika, tambah maju belajarnya, biasanya suka bertambah teknis materinya. So, kemungkinan mempelajari logika dengan mudah akan banyak hambatannya. Kecuali otaknya lagi tokcer bukannya encer. Hehe...

Tapi, kalau saya gak salah memahami, adalah penting untuk terlebih dahulu mengerti kenapa logika hanya fokus kepada dua pokok masalah saja, yaitu: istilah dan pernyataan. Ini karena dua objek tersebut mewakili pengetahuan seseorang atas sesuatu hal (berkaitan dengan istilah dan definisinya) dan sikap seseorang atas sesuatu hal (bersangkutan dengan pernyataan dan kesimpulannya). Sebab, bila seseorang dapat membuat suatu definisi yang baik dari suatu istilah, dapat dipastikan bahwa ia memiliki pengetahuan yang cukup mengenai apa yang dimaksud oleh istilah tersebut. Sedangkan berkenaan dengan sikap seseorang, ini akan dapat dilihat dalam apa yang diungkapkan melalui pernyataannya tersebut. Misalnya, ketika seseorang, sebutlah Nita dan Toto berdiskusi mengenai apa yang disebut dengan katak, maka keduanya akan melakukan diskusinya kira-kira seperti ini:
Nita: "To, apa sih bedanya katak sama kodok? Tahu ga? Aku bingung nih kalo harus bedain."
Toto: "Apa ya bedanya? (Sambil garuk2 kepala ga jelas) Mungkin, kalo katak tuch yang badannya kurus, sedangkan kodok badannya gemuk. Memang kenapa Nit?"
Nita: "Ini, lagi dapet tugas untuk mendeskripsikan katak dan kodok untuk pelajaran biologi. Hmmm ... mungkin bener juga ya? Tapi apa sih perbedaan lainnya?"
Toto: "Kalo kodok, aku tahunya cuma kulitnya itu totol, agak kasar, terus warna kulitnya agak gelap. Sedangkan katak, kulitnya licin dan warna kulitnya agak terang."
Nita: "Oh ... begitu ya? Berarti kodok tuh mirip Toto dong. Kan ... kulitnya gelap gitu. Hihi ..."
Toto: "Aduh, mentang-mentang aku kulitnya item, kamu samain aku sama kodok. Awas ya, ta cubit nih ...!"
Toto mengejar Nita yang sudah kabur duluan sebelum Toto sempat mencubitnya ...
Ilustrasi di atas ini memperlihatkan beberapa hal yang dapat dikenali oleh kita sebagai istilah dan juga pernyataan. "Katak" dan "kodok" adalah dua istilah yang menjadi pokok pembicaraan dalam diskusi di atas. Sedangkan pernyataannya, dapat dibaca dalam:
  • Aku bingung nih kalo harus bedain.
  • Katak tuch yang badannya kurus, sedangkan kodok badannya gemuk.
  • Hmmm ... mungkin bener juga.
  • Aku tahunya cuma kulitnya itu totol, agak kasar, terus warna kulitnya agak gelap.
  • Kulitnya licin dan warna kulitnya agak terang.
  • Berarti kodok tuh mirip Toto dong.
Pernyataan-pernyataan ini boleh dikata sebagai pernyataan informal atau tidak baku.Sebab, kalau kita mencoba untuk mengkategorikannya dalam format pernyataan yang sudah kita bahas dalam artikel sebelumnya, tidak ada satu pernyataan di atas yang memenuhi pola pernyataannya. Apalagi dalam pernyataan terakhir, bagaimana mungkin Nita mengambil kesimpulan kalo Toto itu mirip dengan kodok? Ini adalah sebuah fallacy atau sesat pikir kalo kita menggunakan pola pikir yang logis. Namun, karena kita paham bahwa ini adalah suatu bentuk percandaan, maka kita tidak akan mempermasalahkannya dan hanya akan tersenyum saat membacanya. (Mohon maaf, untuk pembaca yang bernama sama, bukan dimaksudkan kepada Anda lho! Tapi, kalo merasa, berarti Anda hanya terlalu geer. ^_^)

Dari cerita ini pula, kita sebenarnya dapat mengenali pula prinsip-prinsip dasar yang digunakan dalam proses pengolahan istilah selain definisi. Meskipun begitu, prinsip-prinsip ini sebenarnya juga dipakai dalam pembuatan definisi. Sehingga, boleh dikata, ini adalah prinsip-prinsip dasar yang menjadi landasan dalam proses pengolahan istilah secara umum. Lalu, kira-kira, apa saja sih prinsip dasar yang dimaksud? (Iya, cepet dong sebutin! Dah ga sabar alias kebelet pengen tahu! :-p )

Prinsip dasar pertama adalah persamaan. Sesuatu hal dapat dikenali memiliki kemiripan dengan sesuatu yang lainnya karena ada persamaan di antara keduanya. Dalam contoh pembuatan definisi dengan predicable, kita telah mengetahui bahwa manusia dan kera memiliki persamaan di antara keduanya. Manusia dan kera sama-sama melahirkan dalam proses akhir perkembangbiakannya dan juga sama-sama menyusui dalam proses pembesaran anak-anaknya. Bila mengambil contoh pada cerita di atas, katak dan kodok juga memiliki persamaan. Di antara persamaan yang ada, katak dan kodok sama-sama memiliki kaki dengan selaput di antaranya, mampu hidup di dua alam (amfibia), dan memiliki lidah yang lentur untuk menangkap mangsanya.

Setelah prinsip dasar pertama ini, prinsip dasar kedua yang dipakai adalah prinsip perbedaan. Apa yang berbeda dari yang dimiliki manusia dan kera seperti dibahas dalam definisi dengan predicable jelas merupakan contoh penerapan yang paling jelas dari prinsip ini. Hal yang sama juga dapat ditemui dalam contoh cerita di atas. Apa yang dibicarakan Nita dan Toto adalah perbedaan yang dapat dikenali oleh mereka berdua sehingga mereka dapat "memilah" katak dan kodok dengan baik.

Untuk yang terakhir, prinsip dasarnya adalah prinsip keberhubungan. Sesuatu hal akan dapat diketahui dengan baik kalau kita dapat membandingkannya dengan hal lain. Tentunya, akan lebih baik lagi bila kita juga dapat mengenali hubungan antara sesuatu hal tersebut dengan sesuatu hal lainnya yang kita bandingkan itu. Kira-kira, contohnya bagaimana ya?

Misalnya, dalam contoh definisi dengan predicable, kita telah memperbandingkan manusia dan kera. Kita juga telah dapat mengenali persamaan dan perbedaannya. Lalu, apa yang dapat menghubungkan dua subjek ini? Dalam kondisi yang praktis, kita sering menggunakan persamaan untuk melihat hubungan di antara kedua hal yang sedang diperbandingkan, sebagaimana telah dilakukan dalam memperbandingkan manusia dan kera. Dari hal ini, kita akan mengatakan bahwa sesuatu itu "berhubungan" dengan sesuatu yang lainnya karena banyaknya persamaan yang keduanya miliki. Kalau kita mengenali perbedaannya terlalu jauh, kita seringkali mengatakan bahwa kedua hal tersebut tidak "berhubungan". Tetapi, apakah benar seperti itu?

Dalam banyak hal, kita ternyata tidak hanya memakai persamaan dalam menentukan hubungan sesuatu. Ini kita peroleh dalam contoh, hubungan antara kertas dan logam. Kertas dan logam tentu saja memiliki karakteristik yang berbeda dan cukup jauh untuk dipertautkan. Namun, ketika keduanya difungsikan sebagai "uang", maka keduanya dapat dianggap sama, walaupun sangat berbeda dari jenis materi dan karakteristiknya. 

Pada akhirnya, secara umum, kita akan dapat memahami kalau tiga prinsip dasar ini saling mengisi satu sama lain atau saling melengkapi dalam membantu pemahaman kita atas berbagai hal. Pengetahuan manusia terutama bertumpu pada penggunaan tiga prinsip dasar ini dan terungkap melalui istilah dan pernyataan. Apa yang kita tahu tergambar dalam penjelasan kita atas sesuatu istilah dan sikap kita atas sesuatu tercermin dalam pernyataan yang kita buat seperti terdapat dalam contoh-contoh yang telah dikemukakan. Inilah elemen-elemen terpenting dari pengetahuan manusia. Lalu, apakah Anda setuju dengan pendapat saya ini? Kalau tidak, silahkan ungkapkan pikiran Anda. Jangan ragu untuk tidak sependapat ... ^_^

Logika (9), Definisi dengan Predicable

Wah, telat lagi nih postingnya...!!! 1 tahun lagi telatnya. Gimana sih, kan udah janji?
Iya, maaf dech, saya telat lagi bikin postingannya. Soalnya saya ini lagi sulit menulis, plus juga kesibukan lainnya. Pokoknya plus-plus dech. Hehe...
Tapi, sekarang ini dah lumayan ok ko situasinya. Buktinya, postingan baru dah siap untuk Anda baca dalam blog ini. Selamat membaca ya? Jangan takut juga, kalau sudah lupa dengan isi posting sebelumnya, silahkan baca melalui link yang saya sediakan di arsip ^_^

Melanjutkan pembahasan istilah yang disebut dengan definisi pada posting sebelumnya, kita dapat membuat definisi dengan cara yang lebih rinci daripada yang sudah dijelaskan. Ini diperoleh dengan memahami apa yang disebut dengan predikat secara lebih jauh. (Untuk pembahasan predikat ini, lihat dan baca kembali dalam artikel sebelumnya yang berjudul Kata dan Istilah, Kalimat dan Pernyataan).

Predikat ini kalau dalam penguraian artikel saya yang terdahulu adalah bagian penjelasan yang terletak setelah kopula dalam suatu pernyataan. Jika dibandingkan dengan uraian yang ada pada definisi, maka kita dapat mengatakan bahwa predikat ini akan sama dengan yang disebut definiens. Nah, definiens ini sendiri dapat dibagi menjadi beberapa unsur pembentuk definiens. Unsur-unsur inilah yang nantinya diberi nama predicable.

Predicable itu sendiri tidak lain daripada predikat yang diterapkan untuk memahami subjek yang hendak diuraikan. Subjek tersebut dalam definisi adalah yang disebut definiendum. Ada banyak predikat yang dapat diterapkan untuk membuat subjek lebih dapat dipahami. Aristoteles memiliki pembagian yang cukup lengkap mengenai predikat apa saja yang harus ada dalam mengurai penjelasan atas suatu subjek.

Dalam karyanya Topica, Aristoteles telah membagi jenis predikat menjadi 5 macam, yaitu: definisi (Yunani, horos), genus (Yunani, genos), diferensia (Yunani, diaphora), properti (Yunani, idion), dan aksiden (Yunani, sumbebekos). (Baca juga artikel mengenai predicable ini dalam Wikipedia) Ia kemudian mengatakan kalau definisi itu adalah predikat yang berupa "esensi" atau hakikat dasar dari subjek yang dibicarakan. (Topica: 101b; 35-40) Misalnya, hakikat dasar manusia adalah berpikir. Maka berpikir adalah definisi dari manusia.

Selanjutnya, beralih pada istilah genus. Istilah ini memiliki pengertian sebagai predikat dari sejumlah subjek yang dapat menghadirkan perbedaan dalam beragam macamnya untuk subjek tersebut. Misalnya, ketika subjeknya itu adalah manusia, maka genus-nya adalah binatang. (Topica, 102a; 30-5) Pada konteks ini, binatang menjadi genus manusia serta sekaligus dapat menjadi genus untuk kera. Ini karena manusia dan kera adalah sama-sama "subjek". Namun, manusia dan kera sama-sama menjadi subjek pada konteks ini adalah karena kita dapat melihat persamaan yang ada di antara keduanya. Jadi, secara sederhana, genus adalah predikat yang dapat mencakup beberapa hal dengan melihat kesamaan yang ada di antara beberapa halnya itu. (Waks, ko si Arist bingungin yach? :-? )

Pada contoh genus, kita sudah dapat melihat bahwa manusia dan kera dipertautkan di bawah genus binatang. Kini, menjadi penting untuk diperhatikan bahwa perbedaan perlu diberikan sebagai predikat yang dapat memisahkan antara manusia dan kera. Sebab, kalau manusia dan kera tidak dipilah dan dipisahkan, maka berabe jadinya. Kita, yang notabene manusia, masa sih mau disamakan dengan kera? (Iya nih, masa ane dibilang kera sih? Yang bener aje 0_0 )

Oleh karena itu, diferensia sebagai suatu predikat, perlu diterapkan dan ditambahkan pada genus. (Topica, 101b; 15-20) Ini persis seperti yang diungkapkan sebelumnya bahwa genus dapat menghadirkan perbedaan. Perbedaan yang dimaksud tiada lain daripada diferensia. Dalam hubungannya dengan contoh yang diberikan untuk konteks genus, yaitu binatang, diferensia yang dapat ditambahkan untuk genus binatang dengan subjek manusia dan subjek kera jelas akan memiliki kekhususan untuk masing-masingnya. Pada subjek manusia, diferensia yang dapat ditambahkan adalah "dapat menyusun pengetahuannya secara sistematis". Sedangkan untuk subjek kera, diferensianya adalah "dapat memperoleh pengetahuan melalui naluri, percobaan, dan juga pengalaman".

Dalam diferensia untuk kera, kita dapat membaca bahwa keterangan yang serupa ini nampak mendekati pengertian diferensia yang diberikan untuk manusia. Bedanya itu hanya tipis saja. Pada manusia, diferensia yang diberikan tekanannya terletak pada istilah "sistematis". Sedangkan pada kera, titik tekan diferensia-nya adalah istilah "naluri". Ini menjadi penting karena manusia dapat mengembangkan suatu ilmu dengan pengetahuannya yang sistematis, sedangkan kera tidak dapat mengembangkan pengetahuannya secara lebih jauh. (Hmm... Ini bener ga ya penjelasannya? [Garuk2 kepala ga jelas])

Bila perbedaan yang diberikan masih kurang jelas, masih dapat diberikan predikat tambahan yang dapat melengkapi keterangan diferensia-nya. Dengan properti, predikat ini akan dapat melengkapi keterangan secara lebih jauh. Misalnya, manusia itu "memiliki kemampuan untuk belajar tata bahasa". Di sini, keterangannya dapat dibalik menjadi yang memiliki kemampuan untuk mempelajari tata bahasa adalah manusia. Melalui contoh ini, kita dapat mengatakan bahwa properti adalah predikat tambahan yang hanya dimiliki oleh subjek yang hendak diuraikan dan tidak dimiliki oleh subjek lainnya. (Topica, 102a; 15-25) Kalau misalnya ada predikat tambahan yang dimiliki pula oleh subjek lainnya, maka ini dapat disebut dengan properti sementara. (Topica, 102a; 25-30) Misalnya, mengantuk adalah properti yang dapat dimiliki oleh manusia dan juga kera, serta binatang yang lainnya. Oleh karenanya, mengantuk adalah jenis dari properti sementara. (Wah-wah, saya jadi mengantuk nih! Eit, jangan dong, kan belon selesai baca artikelnya ^_^)

Selanjutnya, pada tingkatan yang lebih jauh, kalau properti masih belum dianggap cukup dalam melengkapi keterangan untuk keterangan genus beserta diferensia-nya, maka ada yang disebut dengan aksiden. Aksiden ini berasal dari kata accidit yang berarti "apa yang terjadi". Penjelasan yang diberikan Aristoteles untuk aksiden ini kurang begitu jelas, kecuali ia mengatakan bahwa aksiden itu adalah sesuatu yang bukan genus, diferensia, maupun properti, namun masih merupakan predikat dari sesuatu yang hendak dijelaskan. (Topica, 102b; 01-10) Misalnya, dalam contoh properti di atas, kita mendapati contoh kalau manusia itu memiliki properti "dapat mempelajari tata bahasa". Pada contoh properti ini, anggaplah kalau mempelajari tata bahasa itu masih kurang jelas maksudnya. Oleh karenanya, kita dapat menambahkan uraian mengenai cara-cara mempelajari tata bahasa sebagai contoh dari aksiden yang akan melengkapi properti ini. Salah satu cara yang digunakan manusia untuk mempelajari tata bahasa adalah menyusun kata-kata ke dalam sistem kebahasaan dengan pola-pola penandaan yang khusus. Dalam uraian kalimat yang terakhir, penyusunan kata-kata ke dalam sistem kebahasaan dengan pola-pola penandaan yang khusus dapat menjadi aksiden yang tepat untuk properti yang telah disebutkan.

Demikian, kalau kita ringkaskan uraian dari Aristoteles ini, maka kita akan dapati penjelasannya melalui tabel di bawah ini:


























PredikatManusia
DefinisiBerpikir
GenusHewan
DiferensiaMenyusun pengetahuan secara sistematis
PropertiDapat mempelajari tata bahasa
AksidenPenyusunan kata-kata ke dalam sistem kebahasaan dengan pola-pola penandaan yang khusus



Pada tabel di atas ini, kita memang dapat melihat sedikit lebih baik apa yang sudah disampaikan oleh Aristoteles secara ringkas. Namun, kita juga masih dibingungkan dengan hubungan antar predikat ini. Bagaimanakah caranya menggunakan kelima predikat ini dalam membuat suatu definisi yang baik?

Jawaban atas soal ini diberikan secara sangat baik oleh Porphyrius dari Tyre (234 - 305 M). Ia mengadopsi pikiran yang telah dikembangkan madzhab Peripatetis dalam karyanya yang berjudul Isagoge dan melengkapi apa yang sudah disampaikan oleh Aristoteles di atas dengan 1 predikat tambahan, yaitu: Species. Ia mengatakan bahwa species adalah predikat yang ada di bawah atau menjadi anggota dari genus. (Isagoge, P.4-15) Pada contoh sebelumnya, telah disebutkan bahwa genus untuk manusia adalah hewan. Dalam kaitannya dengan ini, kita dapat menyebutkan bahwa manusia adalah species dari genus hewan.

Dengan tambahan 1 predikat ini, sebenarnya kita sudah dapat menyusun pola pendefinisian berdasarkan pada predikat yang telah dijelaskan. Berikut adalah rumusan definisi dengan menggunakan elemen-elemen predikat yang dimaksud.






















DefiniendumDefiniens
SpeciesGenusDiferensiaPropertiAksiden
ManusiaHewanyang dapat menyusun pengetahuannya secara sistematisdan bertata bahasamelalui pola-pola penandaan yang khusus



Inilah cara pembuatan definisi dengan menggunakan elemen-elemen yang disebut predicable. Pada cara yang sangat sederhana, definisi yang dibuat dengan menggunakan predicable hanya akan terdiri dari species, genus, dan diferensia. Sedangkan dua elemen lainnya hanya diperlukan untuk melengkapi keterangan yang dirasa kurang jelas pada penjelasan diferensia-nya. Mudah-mudahan, artikel ini akan membantu Anda semua membuat definisi yang baik. (Oh begini ya bikin definisi yang baik? Lumayan juga, jadi kelihatan strukturnya. ^_^)

Sampai jumpa di tulisan berikutnya. Mungkin kita masih akan membahas persoalan di seputar logika dulu.

Referensi:
Aristoteles, Topica, dalam W.D. Ross, (Ed.). 1928. The Works of Aristotle. Clarendon Press: Oxford.
Porphyrius The Phoenician. 1975. Isagoge. Edward W. Warren (Trans.). The Pontifical Institute of Medieval Studies: Canada.

BUKU AJAR FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN

Buku yang dieditori Reza A.A Wattimena ini menarik, melihat filsafat ilmu pengetahuan didekatkan dengan realitas empirik yang terjadi di negeri ini. Oleh karenanya buku ini menempatkan dirinya sebgai buku ajar yang berdimensi kontekstual. Sungguh menarik buku ini jika cermat membacanya, dan buku ini pantas untuk pembelajaran, karena secara langsung pembaca disentuhkan dengan relaitas sesungguhnya, sehingga mudah cerna. Orang tidak terbawa ke zaman dulu kala yang cenderung melihat kebelakang cerita Athena atau Yunani Kuno, yang hanya berbicara Sokrates dan Plato. Namun pembaca diajak melihat secara aksiologi kendati tak meninggal otologi dan epistemologi. Perlu disambut dengan gembira karena buku ini belum memilki tandingan bahasan. Cocok sebagai buku ajar, utamanya dalam pembelajaran metode diskusi. Buku ini terbit dari kota Surabaya, yang dibidani oleh Universitas Widya Mandala Surabaya. Ada yang akan kami cuplik terkait dengan Pragmatisme pengetahuan, karena segmen ini mengkritik cara pandang bangsa kita yang cenderung jadi pemakai (konsumen) dari pada produsen. Bangsa yang letih pengetahuan, seperti tiada darah keilmuan yang menyuplai ke tataran ilmu pengetahuan. Tepatnya pada halaman 86 yang perlu dipapar di gudang ini.



FILSAFAT BERPIKIR ORANG TIMUR


Profesor Konrad bukunya sering mampir di blog ini, kali ini menulis tentang Filsafat Berpikir Manusia, khususnya untuk belahan dunia timur. Cara berpikir manusia untuk beberapa hal sangat dipengaruhui alam dimana ia berada. Akumulasi sebuah bertalian anatara manusia dan tempat tinggalnya atau tempat dimana dilahirkan akan memberi warna cara pandangnya. Buku ini mengangkat bagaimana jalan pikir manusia. Telaah diarakan pada wilayah pencermatan, antara lain cara berpikir manusia Indonesia, China dan India. Dalam pembahasannya buku ini sangat banyak membahas cara berpikir manusia di belahan Indiadan China, atau dengan kata lain didominasi cara pikir orang India dan China, selebihnya cara pikir manusia Indonesia. Dari paparan ini sangat bermanfaat bila kita ingin mengkaji lebih dalam filsafat pikir India dan China. Pada halaman 88 buku ini , diuraikan tentang 8 pedoman yang memperlihatkan cara-cara kita melenyapkan pelbagai macam derita manusia antara lain:
  • Pandangan yang benar
  • Keinginan yang benar
  • Kata-kata yang benar
  • Tingkah laku yang benar
  • Gaya hidup yang banar
  • Usaha yang benar
  • Berpikir yang benar
  • kontemplasi yang banar

Catatan: Pada pembahasan Cara Pikir Manusia Indonesia tampaknya buku ini cenderung pada arah pengajaran bagaimna manusia itu sadar berkewarganegaran, hal ini nampak pada pembahasannya mengedepankan Wasawan Nusantara. Dan sebagian kecil menggambarkan perjalanan sejarah bangsa. Menurut blog ini buku yang dikreasi Prof Konrad Kebung, terkait dengan cara berpikir manusia Indonesia masih dikupas sepintas, belum mendasar. Barangkali ini sebuha strategi Prof Konrad untuk menciptakan buku filsafat pikir bangsa Indonesia secara tersendiri.



Kita bersahabat tak hanya datang lalu pergi, numun tertambat di hati sanubari. membangun citra-sesama perguruan tinggi. Bina jati diri untuk meningkatkan kualitas keilmuan sebagai universitas. Lama telah dirancang, akhirnya seperti tanaman. Kini berbuah lebat, lahir titian muhibah keilmuan dalam ranah Seminar Internasional. INTERNATIONAL CONFERENCE-" FUTURE EDUCATION IN GLOBAL CHALLENGES". Tadi Senin 18 April 2011 tepat pukul 18.23 WIB, telah lahir gagasan baru, trilogi gagasan itu antara lain:

1. Membangun Journal Bersama antara UM (Universiti Malaya) dan Universitas Adibuana Surabaya

2. Rencana Membuat Buku Bersama

3. Segera di buka Program Doktoral by Research

Terkait dengan seminar Internasional tersebut, tak tanggung-tanggung untuk hadir ke Surabaya, Universiti Malaya mencarter pesawat yang khusus mengangkut rombongan tersebut. Puluhan mahasiswa program pascasarjana Universitas serta belasan profesor dari universitas Malaya hadir di Universitas Adi Buana Surabaya. Tadi malam dalam acara Jamuan Makan, dihibur pula dengan orkes keroncong yang dimainkan oleh karyawan dan para dosen Universitas Adibuana Surabaya. Sangat menyenangkan tentunya, karena disela jamuan makan malam rekan-rekan dari Universiti Malaya sempat melantunkan suaranya melalui lagu, "Bengawan Solo". Tak Ketinggalan Professor Madya Abdul Jalil ikut pula tarik suara.

FILSAFAT ILMUN PENGETAHUAN: PROF KONRAD KEBUNG, Ph.D

Sebuah terobosan baru, lenngkap dan up tu date dalam mendalami Filsafat Ilmu Pengetahuan. Kata buku ini: "Filsafat bukan hanya suatu pandangan. Filsafat juga berfungsi sebagai ilmu". Sebagai ilmu, filsafat mendobrak gerbang-gerbang pemikiran segala sesuatu sampai se akar-akarnya. Kebenaran adalah fokus dan komitment sentral para filsuf. Semangat cinta akan kebijakansanaan (Philosophia) terus menerus melahirkan cahaya-caya filosofis baru dalam peradaban. Buku FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN ini akan membantu kita untuk memasuki, mempelajari dan mendalami ranah-ranah filsafat ilmu pengetahuan karena mengupas tuntas:
  1. Hubungan filsafat dengan ilmu dan pengetahuan
  2. Hubungan filsafat dengan kehidupan masyarakat, kebudayaan dan gerak peradaban
  3. Hubungan filsafat dengan perilaku dan tindakan manuasia(Etika)
  4. Sejarah perkembangan ilmu sejak jaman klasik sampai kontemporer
  5. Sejarah pembentukan cara berpikir manusia
DATA BUKU
JUDUL : Filsafat Ilmu Pengetahuan
PENULIS : Prof. Konrad Kebung Ph.D.
PENERBIT : Prestasi Pustaka Publisher.[]

PENGANTAR LOGIKA

Titel buku ini LOGIKA, namun dari bahasan didalam terdapat beberapa materi yang bersentuhan langsung dengan filsafat ilmu. Materi yang bersentuhan itu terkait dengan "Kerancuan Pikir" ( Fallacy). Buku ini membekali orang untuk memahami cara berpikir deduksi, yang meletakkan nalar/rasio dalam mencerna kebenaran. Khusus yang membicarakan kerancuan pikir, buku ini meletakan bahasan di halaman 59- 67. tepatnya di bab enam tentang kerancuan berpikir.
Merujuk dari pemikiran Irving M Copi (introduction to logic, 1959:51). Dalam buku itu diaungkap berbagai bentuk arguymen yang rancu, dan selajutnya dikelompokkan menjadi dua besar, yakni;
1. Formal Fallacy atau Kerancuan Formal
2. Informal Fallacy atau Kerancuan Informal.

Kerancuan Revelansi adalah kerancuan pada argumen yang premis-premisnya secara logikal tidak relevan. secara substansial ridak ada sangkut pautnya dengan kebenaran atau kesalahan dari kesimpulan yang mau ditegakkan oleh premis-premis yang diajukan.

Artinya, antara premis-premis dan kesimpulan tidak terdapat hubungan logikal. Cara penyampaian mempengaruhi aspek psikologis sehingga antara premis dan kesimpulan terdapat hubungan logikal.

Irving M. Copi mengemukakan 10 jenis Kerancuan Relevansi:

1. Konklusi Tidak Relevan/Irrelevant Conclusion/Ignoratio Elenchi
Terjadi bila 1 argumen yang seharusnya dimasukan tidak mendukung 1 kesimpulan tersebut, namun diarahkan dan digunakan untuk membenarkan 1 kesimpulan yang lain.

2. Merujuk kekuatan/Argumentum ad Baculum/Appeal to Force
Terjadi bila orang dengan mendasarkan diri pada kekuatan/ancaman penggunaan kekuatan memaksakan agar 1 kesimpulan diterima atau disetujui.

3a. Argumentum ad Hominem/Abusive
Terjadi bila suatu argumen diarahkan untuk menyerang pribadi orangnya, dengan menunjukkan kelemahan/kejelekan orang tersebut dan tidak berusaha secara rasional membuktikan bahwa apa yang dikemukakan orang yang diserang itu salah.

3b. Argumentum ad Hominem/Circumstantial
Terjadi sebuah argumen diarahkan pada pribadi orangnya dalam kaitan dengan situasi/keadaan orang itu sendiri.

4. Argumentum Ignorantiam
Terjadi bila suatu hal dinyatakan benar semata-mata karena belum dibuktikan bahwa hal tersebut salah/sebaliknya suatu dinyatakan salah karena belum dibuktikan bahwa hal itu benar.

5. Argumentum ad Misericordiam/Appeal to pity/Rasa Iba
Terjadi bila rasa kasihan digugah untuk mendorong diterimanya /disetujuinya suatu kesimpulan. Terjadi pencampuradukan perasaan dan jalan pikiran orang sehingga terdorong untuk menyetujui/tidak menyetujui sesuatu.

6. Argumen ad Populum
Terjadi bila orang berusaha mengemukakan dan memenangkan dukungan untuk suatu pendapat/pendirian dengan jalan menggugah perasaan/emosi; membangkitkan semangat berkobar-kobar pada masyarakat.

7. Argumentum ad Verecundiam
Terjadi bila usaha memperoleh kebenaran/dukungan atas suatu kesimpulan/pendapat dilakukan dengan jalan mendasarkan diri pada kewibawaan orang terkenal, namun keahlian terletak di bidang lain.

8. False Cause/Kausa Palsu
Terjadi dengan cara menyatakan adanya hubungan kausal (sebab-akibat) antara 2 hal pada hubungan kausal itu tidak ada.

9. Complex Question/Pertanyaan Majemuk
Terjadi bila diajukan 1 pertanyaan majemuk tapi kemajemukannya tidak diketahui/ dikaburkan dan untuk pertanyaan tersebut dituntut hanya 1 jawaban tunggal.

10. Begging the Question/ Petitio Principii
Mengasumsikan kebenaran dari apa yang mau dibuktikan sebagai benar dalam upaya untuk membuktikan kebenarannya. Sering penggunaan kata-kata untuk mengungkapkan argumen ini mengaburkan fakta bahwa tersembunyi dalam salah 1 dari premis-premis yang diasumsikan tercantum kesimpulan.