Logika (9), Definisi dengan Predicable
Wah, telat lagi nih postingnya...!!! 1 tahun lagi telatnya. Gimana sih, kan udah janji?
Iya, maaf dech, saya telat lagi bikin postingannya. Soalnya saya ini lagi sulit menulis, plus juga kesibukan lainnya. Pokoknya plus-plus dech. Hehe...
Tapi, sekarang ini dah lumayan ok ko situasinya. Buktinya, postingan baru dah siap untuk Anda baca dalam blog ini. Selamat membaca ya? Jangan takut juga, kalau sudah lupa dengan isi posting sebelumnya, silahkan baca melalui link yang saya sediakan di arsip ^_^
Melanjutkan pembahasan istilah yang disebut dengan definisi pada posting sebelumnya, kita dapat membuat definisi dengan cara yang lebih rinci daripada yang sudah dijelaskan. Ini diperoleh dengan memahami apa yang disebut dengan predikat secara lebih jauh. (Untuk pembahasan predikat ini, lihat dan baca kembali dalam artikel sebelumnya yang berjudul Kata dan Istilah, Kalimat dan Pernyataan).
Predikat ini kalau dalam penguraian artikel saya yang terdahulu adalah bagian penjelasan yang terletak setelah kopula dalam suatu pernyataan. Jika dibandingkan dengan uraian yang ada pada definisi, maka kita dapat mengatakan bahwa predikat ini akan sama dengan yang disebut definiens. Nah, definiens ini sendiri dapat dibagi menjadi beberapa unsur pembentuk definiens. Unsur-unsur inilah yang nantinya diberi nama predicable.
Predicable itu sendiri tidak lain daripada predikat yang diterapkan untuk memahami subjek yang hendak diuraikan. Subjek tersebut dalam definisi adalah yang disebut definiendum. Ada banyak predikat yang dapat diterapkan untuk membuat subjek lebih dapat dipahami. Aristoteles memiliki pembagian yang cukup lengkap mengenai predikat apa saja yang harus ada dalam mengurai penjelasan atas suatu subjek.
Dalam karyanya Topica, Aristoteles telah membagi jenis predikat menjadi 5 macam, yaitu: definisi (Yunani, horos), genus (Yunani, genos), diferensia (Yunani, diaphora), properti (Yunani, idion), dan aksiden (Yunani, sumbebekos). (Baca juga artikel mengenai predicable ini dalam Wikipedia) Ia kemudian mengatakan kalau definisi itu adalah predikat yang berupa "esensi" atau hakikat dasar dari subjek yang dibicarakan. (Topica: 101b; 35-40) Misalnya, hakikat dasar manusia adalah berpikir. Maka berpikir adalah definisi dari manusia.
Selanjutnya, beralih pada istilah genus. Istilah ini memiliki pengertian sebagai predikat dari sejumlah subjek yang dapat menghadirkan perbedaan dalam beragam macamnya untuk subjek tersebut. Misalnya, ketika subjeknya itu adalah manusia, maka genus-nya adalah binatang. (Topica, 102a; 30-5) Pada konteks ini, binatang menjadi genus manusia serta sekaligus dapat menjadi genus untuk kera. Ini karena manusia dan kera adalah sama-sama "subjek". Namun, manusia dan kera sama-sama menjadi subjek pada konteks ini adalah karena kita dapat melihat persamaan yang ada di antara keduanya. Jadi, secara sederhana, genus adalah predikat yang dapat mencakup beberapa hal dengan melihat kesamaan yang ada di antara beberapa halnya itu. (Waks, ko si Arist bingungin yach? :-? )
Pada contoh genus, kita sudah dapat melihat bahwa manusia dan kera dipertautkan di bawah genus binatang. Kini, menjadi penting untuk diperhatikan bahwa perbedaan perlu diberikan sebagai predikat yang dapat memisahkan antara manusia dan kera. Sebab, kalau manusia dan kera tidak dipilah dan dipisahkan, maka berabe jadinya. Kita, yang notabene manusia, masa sih mau disamakan dengan kera? (Iya nih, masa ane dibilang kera sih? Yang bener aje 0_0 )
Oleh karena itu, diferensia sebagai suatu predikat, perlu diterapkan dan ditambahkan pada genus. (Topica, 101b; 15-20) Ini persis seperti yang diungkapkan sebelumnya bahwa genus dapat menghadirkan perbedaan. Perbedaan yang dimaksud tiada lain daripada diferensia. Dalam hubungannya dengan contoh yang diberikan untuk konteks genus, yaitu binatang, diferensia yang dapat ditambahkan untuk genus binatang dengan subjek manusia dan subjek kera jelas akan memiliki kekhususan untuk masing-masingnya. Pada subjek manusia, diferensia yang dapat ditambahkan adalah "dapat menyusun pengetahuannya secara sistematis". Sedangkan untuk subjek kera, diferensianya adalah "dapat memperoleh pengetahuan melalui naluri, percobaan, dan juga pengalaman".
Dalam diferensia untuk kera, kita dapat membaca bahwa keterangan yang serupa ini nampak mendekati pengertian diferensia yang diberikan untuk manusia. Bedanya itu hanya tipis saja. Pada manusia, diferensia yang diberikan tekanannya terletak pada istilah "sistematis". Sedangkan pada kera, titik tekan diferensia-nya adalah istilah "naluri". Ini menjadi penting karena manusia dapat mengembangkan suatu ilmu dengan pengetahuannya yang sistematis, sedangkan kera tidak dapat mengembangkan pengetahuannya secara lebih jauh. (Hmm... Ini bener ga ya penjelasannya? [Garuk2 kepala ga jelas])
Bila perbedaan yang diberikan masih kurang jelas, masih dapat diberikan predikat tambahan yang dapat melengkapi keterangan diferensia-nya. Dengan properti, predikat ini akan dapat melengkapi keterangan secara lebih jauh. Misalnya, manusia itu "memiliki kemampuan untuk belajar tata bahasa". Di sini, keterangannya dapat dibalik menjadi yang memiliki kemampuan untuk mempelajari tata bahasa adalah manusia. Melalui contoh ini, kita dapat mengatakan bahwa properti adalah predikat tambahan yang hanya dimiliki oleh subjek yang hendak diuraikan dan tidak dimiliki oleh subjek lainnya. (Topica, 102a; 15-25) Kalau misalnya ada predikat tambahan yang dimiliki pula oleh subjek lainnya, maka ini dapat disebut dengan properti sementara. (Topica, 102a; 25-30) Misalnya, mengantuk adalah properti yang dapat dimiliki oleh manusia dan juga kera, serta binatang yang lainnya. Oleh karenanya, mengantuk adalah jenis dari properti sementara. (Wah-wah, saya jadi mengantuk nih! Eit, jangan dong, kan belon selesai baca artikelnya ^_^)
Selanjutnya, pada tingkatan yang lebih jauh, kalau properti masih belum dianggap cukup dalam melengkapi keterangan untuk keterangan genus beserta diferensia-nya, maka ada yang disebut dengan aksiden. Aksiden ini berasal dari kata accidit yang berarti "apa yang terjadi". Penjelasan yang diberikan Aristoteles untuk aksiden ini kurang begitu jelas, kecuali ia mengatakan bahwa aksiden itu adalah sesuatu yang bukan genus, diferensia, maupun properti, namun masih merupakan predikat dari sesuatu yang hendak dijelaskan. (Topica, 102b; 01-10) Misalnya, dalam contoh properti di atas, kita mendapati contoh kalau manusia itu memiliki properti "dapat mempelajari tata bahasa". Pada contoh properti ini, anggaplah kalau mempelajari tata bahasa itu masih kurang jelas maksudnya. Oleh karenanya, kita dapat menambahkan uraian mengenai cara-cara mempelajari tata bahasa sebagai contoh dari aksiden yang akan melengkapi properti ini. Salah satu cara yang digunakan manusia untuk mempelajari tata bahasa adalah menyusun kata-kata ke dalam sistem kebahasaan dengan pola-pola penandaan yang khusus. Dalam uraian kalimat yang terakhir, penyusunan kata-kata ke dalam sistem kebahasaan dengan pola-pola penandaan yang khusus dapat menjadi aksiden yang tepat untuk properti yang telah disebutkan.
Demikian, kalau kita ringkaskan uraian dari Aristoteles ini, maka kita akan dapati penjelasannya melalui tabel di bawah ini:
Pada tabel di atas ini, kita memang dapat melihat sedikit lebih baik apa yang sudah disampaikan oleh Aristoteles secara ringkas. Namun, kita juga masih dibingungkan dengan hubungan antar predikat ini. Bagaimanakah caranya menggunakan kelima predikat ini dalam membuat suatu definisi yang baik?
Jawaban atas soal ini diberikan secara sangat baik oleh Porphyrius dari Tyre (234 - 305 M). Ia mengadopsi pikiran yang telah dikembangkan madzhab Peripatetis dalam karyanya yang berjudul Isagoge dan melengkapi apa yang sudah disampaikan oleh Aristoteles di atas dengan 1 predikat tambahan, yaitu: Species. Ia mengatakan bahwa species adalah predikat yang ada di bawah atau menjadi anggota dari genus. (Isagoge, P.4-15) Pada contoh sebelumnya, telah disebutkan bahwa genus untuk manusia adalah hewan. Dalam kaitannya dengan ini, kita dapat menyebutkan bahwa manusia adalah species dari genus hewan.
Dengan tambahan 1 predikat ini, sebenarnya kita sudah dapat menyusun pola pendefinisian berdasarkan pada predikat yang telah dijelaskan. Berikut adalah rumusan definisi dengan menggunakan elemen-elemen predikat yang dimaksud.
Inilah cara pembuatan definisi dengan menggunakan elemen-elemen yang disebut predicable. Pada cara yang sangat sederhana, definisi yang dibuat dengan menggunakan predicable hanya akan terdiri dari species, genus, dan diferensia. Sedangkan dua elemen lainnya hanya diperlukan untuk melengkapi keterangan yang dirasa kurang jelas pada penjelasan diferensia-nya. Mudah-mudahan, artikel ini akan membantu Anda semua membuat definisi yang baik. (Oh begini ya bikin definisi yang baik? Lumayan juga, jadi kelihatan strukturnya. ^_^)
Sampai jumpa di tulisan berikutnya. Mungkin kita masih akan membahas persoalan di seputar logika dulu.
Referensi:
Aristoteles, Topica, dalam W.D. Ross, (Ed.). 1928. The Works of Aristotle. Clarendon Press: Oxford.
Porphyrius The Phoenician. 1975. Isagoge. Edward W. Warren (Trans.). The Pontifical Institute of Medieval Studies: Canada.
Iya, maaf dech, saya telat lagi bikin postingannya. Soalnya saya ini lagi sulit menulis, plus juga kesibukan lainnya. Pokoknya plus-plus dech. Hehe...
Tapi, sekarang ini dah lumayan ok ko situasinya. Buktinya, postingan baru dah siap untuk Anda baca dalam blog ini. Selamat membaca ya? Jangan takut juga, kalau sudah lupa dengan isi posting sebelumnya, silahkan baca melalui link yang saya sediakan di arsip ^_^
Melanjutkan pembahasan istilah yang disebut dengan definisi pada posting sebelumnya, kita dapat membuat definisi dengan cara yang lebih rinci daripada yang sudah dijelaskan. Ini diperoleh dengan memahami apa yang disebut dengan predikat secara lebih jauh. (Untuk pembahasan predikat ini, lihat dan baca kembali dalam artikel sebelumnya yang berjudul Kata dan Istilah, Kalimat dan Pernyataan).
Predikat ini kalau dalam penguraian artikel saya yang terdahulu adalah bagian penjelasan yang terletak setelah kopula dalam suatu pernyataan. Jika dibandingkan dengan uraian yang ada pada definisi, maka kita dapat mengatakan bahwa predikat ini akan sama dengan yang disebut definiens. Nah, definiens ini sendiri dapat dibagi menjadi beberapa unsur pembentuk definiens. Unsur-unsur inilah yang nantinya diberi nama predicable.
Predicable itu sendiri tidak lain daripada predikat yang diterapkan untuk memahami subjek yang hendak diuraikan. Subjek tersebut dalam definisi adalah yang disebut definiendum. Ada banyak predikat yang dapat diterapkan untuk membuat subjek lebih dapat dipahami. Aristoteles memiliki pembagian yang cukup lengkap mengenai predikat apa saja yang harus ada dalam mengurai penjelasan atas suatu subjek.
Dalam karyanya Topica, Aristoteles telah membagi jenis predikat menjadi 5 macam, yaitu: definisi (Yunani, horos), genus (Yunani, genos), diferensia (Yunani, diaphora), properti (Yunani, idion), dan aksiden (Yunani, sumbebekos). (Baca juga artikel mengenai predicable ini dalam Wikipedia) Ia kemudian mengatakan kalau definisi itu adalah predikat yang berupa "esensi" atau hakikat dasar dari subjek yang dibicarakan. (Topica: 101b; 35-40) Misalnya, hakikat dasar manusia adalah berpikir. Maka berpikir adalah definisi dari manusia.
Selanjutnya, beralih pada istilah genus. Istilah ini memiliki pengertian sebagai predikat dari sejumlah subjek yang dapat menghadirkan perbedaan dalam beragam macamnya untuk subjek tersebut. Misalnya, ketika subjeknya itu adalah manusia, maka genus-nya adalah binatang. (Topica, 102a; 30-5) Pada konteks ini, binatang menjadi genus manusia serta sekaligus dapat menjadi genus untuk kera. Ini karena manusia dan kera adalah sama-sama "subjek". Namun, manusia dan kera sama-sama menjadi subjek pada konteks ini adalah karena kita dapat melihat persamaan yang ada di antara keduanya. Jadi, secara sederhana, genus adalah predikat yang dapat mencakup beberapa hal dengan melihat kesamaan yang ada di antara beberapa halnya itu. (Waks, ko si Arist bingungin yach? :-? )
Pada contoh genus, kita sudah dapat melihat bahwa manusia dan kera dipertautkan di bawah genus binatang. Kini, menjadi penting untuk diperhatikan bahwa perbedaan perlu diberikan sebagai predikat yang dapat memisahkan antara manusia dan kera. Sebab, kalau manusia dan kera tidak dipilah dan dipisahkan, maka berabe jadinya. Kita, yang notabene manusia, masa sih mau disamakan dengan kera? (Iya nih, masa ane dibilang kera sih? Yang bener aje 0_0 )
Oleh karena itu, diferensia sebagai suatu predikat, perlu diterapkan dan ditambahkan pada genus. (Topica, 101b; 15-20) Ini persis seperti yang diungkapkan sebelumnya bahwa genus dapat menghadirkan perbedaan. Perbedaan yang dimaksud tiada lain daripada diferensia. Dalam hubungannya dengan contoh yang diberikan untuk konteks genus, yaitu binatang, diferensia yang dapat ditambahkan untuk genus binatang dengan subjek manusia dan subjek kera jelas akan memiliki kekhususan untuk masing-masingnya. Pada subjek manusia, diferensia yang dapat ditambahkan adalah "dapat menyusun pengetahuannya secara sistematis". Sedangkan untuk subjek kera, diferensianya adalah "dapat memperoleh pengetahuan melalui naluri, percobaan, dan juga pengalaman".
Dalam diferensia untuk kera, kita dapat membaca bahwa keterangan yang serupa ini nampak mendekati pengertian diferensia yang diberikan untuk manusia. Bedanya itu hanya tipis saja. Pada manusia, diferensia yang diberikan tekanannya terletak pada istilah "sistematis". Sedangkan pada kera, titik tekan diferensia-nya adalah istilah "naluri". Ini menjadi penting karena manusia dapat mengembangkan suatu ilmu dengan pengetahuannya yang sistematis, sedangkan kera tidak dapat mengembangkan pengetahuannya secara lebih jauh. (Hmm... Ini bener ga ya penjelasannya? [Garuk2 kepala ga jelas])
Bila perbedaan yang diberikan masih kurang jelas, masih dapat diberikan predikat tambahan yang dapat melengkapi keterangan diferensia-nya. Dengan properti, predikat ini akan dapat melengkapi keterangan secara lebih jauh. Misalnya, manusia itu "memiliki kemampuan untuk belajar tata bahasa". Di sini, keterangannya dapat dibalik menjadi yang memiliki kemampuan untuk mempelajari tata bahasa adalah manusia. Melalui contoh ini, kita dapat mengatakan bahwa properti adalah predikat tambahan yang hanya dimiliki oleh subjek yang hendak diuraikan dan tidak dimiliki oleh subjek lainnya. (Topica, 102a; 15-25) Kalau misalnya ada predikat tambahan yang dimiliki pula oleh subjek lainnya, maka ini dapat disebut dengan properti sementara. (Topica, 102a; 25-30) Misalnya, mengantuk adalah properti yang dapat dimiliki oleh manusia dan juga kera, serta binatang yang lainnya. Oleh karenanya, mengantuk adalah jenis dari properti sementara. (Wah-wah, saya jadi mengantuk nih! Eit, jangan dong, kan belon selesai baca artikelnya ^_^)
Selanjutnya, pada tingkatan yang lebih jauh, kalau properti masih belum dianggap cukup dalam melengkapi keterangan untuk keterangan genus beserta diferensia-nya, maka ada yang disebut dengan aksiden. Aksiden ini berasal dari kata accidit yang berarti "apa yang terjadi". Penjelasan yang diberikan Aristoteles untuk aksiden ini kurang begitu jelas, kecuali ia mengatakan bahwa aksiden itu adalah sesuatu yang bukan genus, diferensia, maupun properti, namun masih merupakan predikat dari sesuatu yang hendak dijelaskan. (Topica, 102b; 01-10) Misalnya, dalam contoh properti di atas, kita mendapati contoh kalau manusia itu memiliki properti "dapat mempelajari tata bahasa". Pada contoh properti ini, anggaplah kalau mempelajari tata bahasa itu masih kurang jelas maksudnya. Oleh karenanya, kita dapat menambahkan uraian mengenai cara-cara mempelajari tata bahasa sebagai contoh dari aksiden yang akan melengkapi properti ini. Salah satu cara yang digunakan manusia untuk mempelajari tata bahasa adalah menyusun kata-kata ke dalam sistem kebahasaan dengan pola-pola penandaan yang khusus. Dalam uraian kalimat yang terakhir, penyusunan kata-kata ke dalam sistem kebahasaan dengan pola-pola penandaan yang khusus dapat menjadi aksiden yang tepat untuk properti yang telah disebutkan.
Demikian, kalau kita ringkaskan uraian dari Aristoteles ini, maka kita akan dapati penjelasannya melalui tabel di bawah ini:
Definisi | Berpikir | |||
Genus | Hewan | |||
Diferensia | Menyusun pengetahuan secara sistematis | |||
Properti | Dapat mempelajari tata bahasa | |||
Aksiden | Penyusunan kata-kata ke dalam sistem kebahasaan dengan pola-pola penandaan yang khusus |
Pada tabel di atas ini, kita memang dapat melihat sedikit lebih baik apa yang sudah disampaikan oleh Aristoteles secara ringkas. Namun, kita juga masih dibingungkan dengan hubungan antar predikat ini. Bagaimanakah caranya menggunakan kelima predikat ini dalam membuat suatu definisi yang baik?
Jawaban atas soal ini diberikan secara sangat baik oleh Porphyrius dari Tyre (234 - 305 M). Ia mengadopsi pikiran yang telah dikembangkan madzhab Peripatetis dalam karyanya yang berjudul Isagoge dan melengkapi apa yang sudah disampaikan oleh Aristoteles di atas dengan 1 predikat tambahan, yaitu: Species. Ia mengatakan bahwa species adalah predikat yang ada di bawah atau menjadi anggota dari genus. (Isagoge, P.4-15) Pada contoh sebelumnya, telah disebutkan bahwa genus untuk manusia adalah hewan. Dalam kaitannya dengan ini, kita dapat menyebutkan bahwa manusia adalah species dari genus hewan.
Dengan tambahan 1 predikat ini, sebenarnya kita sudah dapat menyusun pola pendefinisian berdasarkan pada predikat yang telah dijelaskan. Berikut adalah rumusan definisi dengan menggunakan elemen-elemen predikat yang dimaksud.
Species | Genus | Diferensia | Properti | Aksiden |
Manusia | Hewan | yang dapat menyusun pengetahuannya secara sistematis | dan bertata bahasa | melalui pola-pola penandaan yang khusus |
Inilah cara pembuatan definisi dengan menggunakan elemen-elemen yang disebut predicable. Pada cara yang sangat sederhana, definisi yang dibuat dengan menggunakan predicable hanya akan terdiri dari species, genus, dan diferensia. Sedangkan dua elemen lainnya hanya diperlukan untuk melengkapi keterangan yang dirasa kurang jelas pada penjelasan diferensia-nya. Mudah-mudahan, artikel ini akan membantu Anda semua membuat definisi yang baik. (Oh begini ya bikin definisi yang baik? Lumayan juga, jadi kelihatan strukturnya. ^_^)
Sampai jumpa di tulisan berikutnya. Mungkin kita masih akan membahas persoalan di seputar logika dulu.
Referensi:
Aristoteles, Topica, dalam W.D. Ross, (Ed.). 1928. The Works of Aristotle. Clarendon Press: Oxford.
Porphyrius The Phoenician. 1975. Isagoge. Edward W. Warren (Trans.). The Pontifical Institute of Medieval Studies: Canada.