FILSAFAT ILMU - Kontemplasi Filosofis tentang Seluk-Beluk Sumber dan Tujuan Ilmu Pengetahuan

Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu
Kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu
Sedang berfilsafat dimulai dengan kedua-duanya.
Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang kita belum tahu. Berfilsafat berati mengoreksi diri, semacam keberanian berterus terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah terjangkau.
Karakteristik berpikir filsafat yang pertama adalah sifat menyeluruh. Seorang-orang ilmuwan tidak lekas puas mengenai ilmu yang hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan lainnya. Dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral dan kaitan ilmu dengan agama. Dia ingin yakin apakah ilmu itu membawa kebahagiaan bagi dirinya.
Karakter berfikir filsafat yang kedua adalah mendasar, artinya setiap ilmu yang ada tak lagi dipercaya sebagai kebenaran. Kebenarannya dipertanyakan, mengapa ilmu itu bisa benar, dan apa yang dimaksud dengan kebenaran di sini.
Menikmati Filsafat yang mengasyikkan, memburu pengetahuan dengan meragukan setiap pengetahuan dan meyakini keraguan tas segala hal melalui berbagai pertanyaan yang dijawabnya sendiri.
ISTIMEWA BUKU INI
Buku ini termasuk kategori istimewa, karena merupakan buku filsafat ilmu yang memberikan ringkasan dari apa yang dibahas. Tepatnya pada halaman 231 - 242, buku ini meringkas sajian serta menyederhanakan. Sangat cocok untuk mahasiswa yang sedang mengulang, karena tidak lulus ujian.
Data BuKu
JUDUL: Filsafat Ilmu: kontemplasi Filosofis tentang Seluk Beluk Sumber dan Tujuan Ilmu Pengetahuan
PENULIS: Drs. Beni Ahmad Saebani, MSi
PENERBIT: CV. Pustaka Setia. Jl. BKR [Lingkar Selatan] No. 162-164. Telp: 022-5210588. Bandung 40253.
CETAKAN: Pertama Februari 2009
TEBAL: 264 halaman ; 16,5 x 23,5 cm
ISBN: 978-979-730-941-1

Logika (5), Sokrates dan Percakapan Dialektik

Kali ini kita akan membahas model Dialektika yang diungkapkan masih oleh salah satu filsuf terkenal dari masa Yunani Kuno, yaitu Sokrates dari Athena. Sokrates terkenal memang bukan karena metode Dialektika. Ia menjadi sangat terkenal karena ia memilih minum racun untuk mempertahankan prinsipnya dalam pengadilan kota Athena. Namun, sebenarnya, peristiwa ini terjadi justru sebagai akibat langsung dari metode Dialektika yang ia pakai. Kenapa demikian?

Metode Dialektika Sokrates agak sedikit berbeda dengan pola yang dipakai oleh Zeno. Ini karena Sokrates memang memaksudkan Dialektika justru pada asal katanya, yaitu bercakap-cakap atau berdialog. Ya, Sokrates memang adalah orang yang senang bercakap dengan orang lain yang bertemu dengannya di sepanjang jalan kota Athena. Ia selalu mengajak mereka diskusi untuk sesuatu yang ia anggap penting.

Tapi, tentu saja percakapan model diskusi yang dilakukan oleh Sokrates memang tidak selamanya disambut hangat. Apalagi bila dipandang dari kacamata kaum Sofis. Mereka ini adalah rival Sokrates. Ini karena kaum Sofis adalah sekelompok orang yang justru mengambil keuntungan dari masyarakat melalui kecakapannya berorasi atau berpidato. Nah, seringkali kaum Sofis ini dibuat jengkel oleh Sokrates karena mereka merasa dipermalukan di depan banyak orang dengan metode Dialektika. Lalu, seperti apa yang sebenarnya telah dilakukan oleh Sokrates dengan Dialektika ini?

Berikut adalah ilustrasi yang dibuat untuk memberikan gambaran seperti apa kiranya metode Dialektika yang dipergunakan oleh Sokrates.
Suatu hari, Sokrates bertemu dengan Meno, sahabat lamanya, di kios ikan pasar Athena. Begitu senangnya, sehingga mereka lama berpelukan. Sokrates kemudian mengajak Meno untuk rehat di sebuah emperan rumah dekat pasar sambil sekaligus berteduh.
"Apa yang sedang kau lakukan saat ini, wahai Meno saudaraku?"
"Aku sedang menjajagi untuk membuka kios usaha di Megara, Sokrates. Makanya aku berkunjung ke Athena untuk melihat bagaimana mereka mengelola kiosnya dan barang-barang apa saja yang dapat ku ambil dari sini."
"Oh begitu. Bukankah engkau sudah punya ladang gandum yang begitu luas dari ayahmu? Apa itu tidak cukup untuk memenuhi semua kebutuhanmu?"
"Tidak Sokrates. Itu belum cukup bagiku. Aku ingin lebih dari ayahku. Ingin seperti Kranos, saudagar terkaya di Megara. Dia hidup sangat senang dengan semua kemewahan yang ia punya."
"Hidup sangat senang? Bisa kau berikan keterangan yang lebih jelas lagi wahai Meno?"
"Kau memang tidak tahu apa artinya hidup mewah Sokrates. Kranos itu punya segala-galanya. Budak yang ia punya lebih dari 40 orang. Perempuan pun suka padanya. Tidak kurang dari belasan perempuan hilir mudik datang ke rumah Kranos tiap harinya. Merayu untuk menjadi istrinya. Rumah itu amat megah. Berdiri kokoh dengan tiang granit dan lantai batu pualam. Tidak cukup sampai di situ, ia, Kranos, juga memiliki 4 kereta dan 10 ekor kuda. Itu hebat Sokrates. Itu baru namanya hidup."
"Terus, apa hubungannya antara hidup sangat senang dan hebat? Apakah kalau kita hidup dengan hebat maka akan hidup dengan sangat senang?"
"Itu betul Sokrates. Kita akan hidup sangat senang kalau kita hidup dengan hebat. Makanya aku datang jauh-jauh ke Athena agar bisa belajar dan mendapatkan pengetahuan yang lebih daripada Kranos. Aku akan menjadi lebih hebat dari Kranos tentunya."
Di tengah percakapan ini, seorang anak kecil bersama ibunya lewat di depan mereka. Anak itu sangat senang sekali karena ibunya membelikan ia permen gula. Ia jalan berjingkat-jingkat kecil dengan satu tangan menggenggam permen gula dan tangan lainnya memegang tangan si ibu.
"Kau lihat anak kecil itu wahai Meno?"
"Ya Sokrates. Memangnya ada apa?"
"Tadi anak kecil itu begitu senangnya. Tidakkah itu juga hebat Meno?"
"Hebat apanya Sokrates? Menurutku, itu wajar saja. Setiap anak yang diberi permen gula tentu akan merasa sangat senang."
"Jadi, kau menganggap kalau hebat itu tidak identik dengan rasa senang?"
"Maksudmu apa Sokrates?"
"Tadi kau mengatakan kita akan hidup sangat senang kalau kita hidup dengan hebat. Bukankah itu sama dengan mengatakan bahwa rasa senang itu identik dengan hebat? Artinya, kalau kita hidup dengan hebat, itu akan membuat kita hidup senang. Bukankah begitu wahai Meno sahabatku?"
Meno bingung dengan pertanyaan dan kata-kata Sokrates. Ia mulai kehilangan kata-kata.
"Iya, mungkin, Sokrates."
"Kenapa mungkin? Kalau rasa senang itu identik dengan hebat, maka anak kecil yang tadi mendapat permen gula itu pun bisa kita bilang hebat Meno. Hanya dengan sebuah permen gula yang kecil, ia bisa merasa sangat senang."
Meno akhirnya tak mampu berkata-kata. Ia merasa terpojok dengan ucapan Sokrates. Hanya dengan contoh kecil saja, Sokrates telah membuat lamunannya yang ia bangun selama bertahun-tahun menjadi sia-sia.
"Aku tidak melarangmu menjadi hebat atau melebihi kehebatannya Kranos, wahai Meno. Aku ingin kamu menentukan tujuan hidupmu menjadi hebat bukan semata-mata karena melihat orang lain."
Setelah itu, Sokrates menepuk pundak Meno, lalu mengajaknya pergi bertandang ke rumahnya untuk sekadar bersantap ala kadarnya. Meno mencari temannya terlebih dahulu
dan mereka bertiga menuju rumah Sokrates.

Nah, dalam dialog Sokrates dengan Meno di atas, kita dapat melihat bahwa Sokrates menggunakan Dialektika sebagai satu cara untuk menyadarkan orang lain itu akan pengertian yang sesungguhnya tentang makna suatu kata. Dengan contoh-contoh sederhana, Sokrates mampu mengurai retorika menjadi suatu pembicaraan tanpa isi. Melalui cara inilah ia dikenal sebagai pembicara ulung dan menjadi sangat disegani di seantero Athena. Tetapi, ia pun sekaligus menjadi orang yang paling menjengkelkan dan paling dimusuhi oleh orang-orang yang tidak menyukainya.

Cara seperti ini yang diberi nama oleh Sokrates sebagai maieutike tekhne (seni kebidanan). Ini karena Sokrates selalu mengganggap dirinya seibarat "bidan" yang membantu melahirkan pengertian yang benar dalam pikiran orang lain. Dalam hal ini, ia sangat terinspirasi oleh ibunda yang memang adalah seorang bidan.

Jadi, apakah kini anda sudah memahami metode Dialektika Sokrates? ;-)

Logika (4), Dialetika Zeno dari Elea

Seperti yang telah saya janjikan sebelumnya, kini saya akan membahas satu jenis pola pikir yang banyak digunakan oleh para filsuf, yaitu Dialektika. Walaupun tidak terlalu lengkap, tapi saya akan membahas pola Dialektika yang dibangun oleh tiga filsuf yang sangat menarik. Selamat membaca ...! ;-)

Bila dilihat dari sejarahnya, Dialektika ini sebenarnya berasal dari kata dialegestai (Yunani) yang berarti "percakapan". Para filsuf sebelum Sokrates dari Athena (± 469 – 399 SM), seperti Zeno dari Elea (± 490 – 430 SM), sudah menggunakan istilah ini sebagai suatu nama untuk metode berpikir. Ini dipakai, terutama, ketika Zeno berusaha untuk mempertahankan pandangan sang guru, Parmenides dari Elea (± 515 – 440 SM) yang menyatakan bahwa "alam semesta itu satu adanya dan tidak ada perubahan di dalamnya". Pandangan yang demikian ini dikenal sebagai suatu jenis pandangan yang monistik tentang semesta.

Sehubungan dengan pikiran Zeno, ada beberapa uraian menarik yang diberikan olehnya ketika ia sedang berdialektika. Misalnya, saat ia mengajukan masalah pelik yang membingungkan banyak orang. Berikut adalah salah satu contoh masalah yang dikemukakannya.
Achilles tidak dapat memenangi lomba lari melawan kura-kura
Membaca masalah di atas, mungkin kita akan sedikit tersipu, heran, atau malah bingung. Kok bisa ya filsuf mengemukakan masalah yang ganjil serupa ini? Apa memang kurang kerjaan atau gimana ya? ( Nah lho, komentar kok gak sopan ...! ;-) )

Ya, saat Achilles dinyatakan tidak bisa menang melawan kura-kura dalam lomba lari, mungkin ini seperti bualan. Tetapi, kalau boleh saya bilang, ini bualan yang paling argumentatif. (^_^) Sebagai orang Yunani masa itu, Zeno tahu kalau Achilles adalah seorang pelari yang handal. Bahkan, dalam mitologi Yunani, Achilles adalah seorang pahlawan pada Perang Troya. Jadi, kalau Achilles harus bertarung lari dengan seekor kura-kura yang sangat lambat, maka "sungguh mustahil sekali" kalau kura-kura bisa menang.

Akan tetapi, di balik masalah yang Zeno kemukakan, sebenarnya ada suatu persoalan pelik yang hanya bisa dipahami menggunakan pendekatan fisika maupun matematika untuk mengatakan pandangan Zeno itu benar. Walalupun demikian, ada syarat tertentu yang diandaikan oleh pernyataan ini. Syarat ini tiada lain adalah kura-kura harus memulai lari lebih dahulu daripada Achilles. Kenapa harus seperti itu? (Aneh, walaupun mulai duluan, kan gak bakalan menang juga. ;-) )

Syarat di atas dibutuhkan dalam memahami pernyataan Zeno dari sisi fisika maupun matematika. Dari segi fisika, pernyataan Zeno mendapatkan pembenaran kalau hal ini dikaitkan dengan analisis mengenai waktu. Misalnya Achilles (A) dan kura-kura (K) memulai lomba pada waktu 00.00. Saat lomba dilaksanakan, K memulainya terlebih dahulu pada 00.01 dan A membiarkannya sampai K itu melaju cukup jauh. Dengan kecepatan lari yang dimilikinya, A berlari mengejar K hingga melampauinya dan menunggu K menghampirinya kembali.

Menilik cerita lomba di atas, tentunya A lebih unggul secara kemampuan dan dapat dipastikan siapa pemenangnya. Namun, dalam kaitannya dengan waktu, justru K yang lebih dahulu memimpin. Ini karena K memulai lomba pada 00.01. Saat kita memahami ini semua dalam kerangka waktu, maka A-lah yang akan mengalami kekalahan. Ini karena waktu A memulai lomba misalnya pada 30.00, setelah menunggu K berjalan cukup jauh. Dalam teori mengenai waktu, tidak ada sesuatu apapun yang dapat melampaui atau mendahului waktu. Tidak juga kecepatan cahaya.

Nah, memahami pernyataan Zeno dalam kaitannya dengan kerangka waktu justru akan dapat membuat kita sadar bahwa pendapat Zeno ini ternyata ada benarnya.

Cara lain untuk memahami pernyataan Zeno adalah memahaminya dari sisi matematika (walaupun ada fisikanya juga sih). Berikut ini adalah uraiannya.

Saat A dan K berlomba, dengan K yang memulainya terlebih dahulu, K ini sebenarnya sedang mengambil suatu posisi terhadap A. Maksudnya membuat suatu posisi di sini adalah K membuat jarak dengan A dan membuat suatu titik acuan relatif terhadap A. Ketika K bergerak, maka posisi itu pun sudah pasti akan berubah. Nah, saat A bergerak mendekati posisi K atau malah melampauinya, sudah pasti jarak antara A dengan K akan berkurang, sama, atau malah menjauh. Pada saat ini terjadi, posisi A bisa berada di belakang, sama, atau malah di depan K.

Kalau kita menggunakan pola pikir yang biasa dipakai sebagai dasar analisis, artinya hanya mempertimbangkan jarak sebagai ukuran pokok dalam memahami persoalan di atas, maka kita akan keliru memahami pernyataan Zeno. Sebab, menurut saya, Zeno tidak sedang mempertimbangkan jarak sebagai ukuran pokok. Yang ia pikirkan, mungkin, adalah posisi K yang tidak pernah bisa dijangkau oleh A. Artinya, saat K mencapai posisi tertentu, ini tidak akan dapat dijangkau oleh A karena posisi K selalu berubah secara relatif terhadap A. Tentu saja posisi yang relatif ini masih berlaku saat jarak antara A dan K adalah 0 alias A = K atau jarak antara A dan K adalah A > K. Dengan ini, kita tidak dapat mengatakan A itu menang atas K berdasarkan posisinya.

Bingung? (Wah, benar-benar deh, belajar kali ini cukup melelahkan. ;-1 )

Kalau bingung, ada cara alternatif lainnya untuk memahami ini. Zeno itu benar kalau Zeno memang berpikir "curang". Ya, seandainya Zeno berpikir demikian, ini juga bukan sesuatu yang mustahil. Pikiran curang ini adalah dengan membayangkan kalau Achilles ternyata bukan hanya melawan seekor kura-kura, tapi melawan 1.000 ekor kura-kura yang bekerja sama dan mirip satu sama lain. He he ... (Dasar, kirain serius. Gak tahunya guyon ... !!! ;-p)

Demikian uraian mengenai Dialektika dari Zeno. Posting berikutnya, kita akan membahas Dialektika model lain yang tak kalah seru. ^_^

Logika (3), Deduksi, Induksi, dan Abduksi

Di dalam tulisan Logika (2), kita sudah sedikit banyak mengenal istilah logika maupun materi-materinya. Ada yang disebut Logika Formal dan Logika Material, juga ada yang disebut Deduktif dan Induktif. Tetapi, apa yang bisa dimanfaatkan dari materi itu kalau kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari?

Kalau dilihat secara sepintas, kita mungkin tidak akan banyak dapat menggunakan analisis seperti yang telah dilakukan pada posting sebelumnya. Tapi, sebenarnya kita justru seringkali menggunakan pola pikir tersebut. Cuma kadangkala, kita tidak menerapkannya dengan baik. Ada beberapa persoalan tentang hal ini yang menjadi sebab kenapa kita tidak dapat menggunakan logika secara praktis dan nyata.

Pertama, kita selalu menganggap apa yang kita pikir itu benar.
Kedua, kita selalu menganggap apa yang dipikir orang lain salah bila bertolak belakang dengan pola pikir kita.

Ini awal dari banyak kesalahan berpikir logika. Bahkan filsuf sekaliber Bertrand Arthur William Russell (1872-1970) pun pernah mengalami kesalahan ini. Oleh karena itu, hindarilah dua dasar pikiran yang telah dikutipkan di atas. Sebab, apapun yang kita pikirkan, ucapkan, maupun yang dinyatakan secara kukuh tetap memiliki kesalahan logis yang bersifat internal (terkandung di dalamnya) atau internal logical fallacy. (Apa tulisan ini juga begitu? Hehe... Ya, tinggal Anda nilai sendiri aja. ;-) )

Walaupun demikian, terlepas dari kasus kesalahan logis yang internal, dua dasar pikiran di atas itu sendiri sebenarnya dapat kita sebut sebagai satu jenis pola pikir baru yang berhasil dikenali dalam kajian logika. Adalah Charles Sanders Peirce (1839-1914) yang pertama kali mengenalkan cara menganalisis jenis pola pikir tersebut. Pola pikir ini bersifat "menduga" (speculation) dan diberi nama dengan Abduktif.

Bagaimana kira-kira pola pikir ini dianalisis?

Ternyata, apa yang disebut Abduktif tidak jauh berbeda dengan dua pola pikir yang telah disebutkan. Kalau kita bandingkan secara langsung antara Deduktif, Induktif, dan Abduktif, maka kita cuma melihat perbedaan yang tipis saja dan hanya bertukar posisi untuk pernyataan-pernyataannya. Berikut adalah contoh perbandingannya.

Deduksi:
(1.1) Semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih
(1.2) Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu
-----------------------------------------------------------------
(1.3) Buncis ini (adalah) putih

Induksi:
(2.1) Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu
(2.2) Buncis ini (adalah) putih
-----------------------------------------------------------------
(2.3) Semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih

Abduksi
(3.1) Semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih
(3.2) Buncis ini (adalah) putih
-----------------------------------------------------------------
(3.3) Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu

catatan:
*) kata (adalah) ini digunakan untuk menerjemahkan kata 'is'.
**) Selengkapnya, lihat dalam Umberto Eco, 1979, A Theory of Semiotics, Indiana University Press, Bloomington, hal. 131-3.

Bila Anda perhatikan dengan baik, ternyata pola Deduksi, Induksi, maupun Abduksi menggunakan tiga pernyataan yang sama. Ini menunjukkan bahwa antara tiga pola pikir ini terdapat hubungan yang saling melengkapi.

Demikian, pembahasan kita kali ini. Di posting selanjutnya, saya akan membahas Dialektika sebagai suatu jenis pola pikir lainnya dari logika. Bye ... ;-)

Logika (2), Formal, Material, dan Deduksi

Wuih, capeknya. Setelah surfing sana sini, akhirnya saya bisa menemukan apa yang saya cari untuk memperbaiki blog ini. Mudah-mudahan yang mampir di sini bisa jadi lebih betah. Hehe... Oya, sebelum lanjut pada pembahasan Logika (2), saya akan jelaskan pengubahan blog ini terlebih dahulu.

Pertama, blog ini menggabungkan 7 blog yang saya kelola menjadi satu kesatuan. Dengan menu yang bisa diakses di bagian kiri atas (foto saya yang agak keren tapi buhun ;-p ), Anda bukan cuma akan disuguhi suatu format belajar filsafat, tetapi juga bisa mengakses tulisan-tulisan lainnya dari saya, yaitu puisi, pembahasan komputer, tips seputar blog, artikel dan makalah, skripsi, ataupun pengalaman pribadi. Walaupun belum lengkap seutuhnya, tapi mudah-mudahan bisa saya lengkapi tahap demi tahap.

Kedua, udah dulu ya? Ntar lagi deh jelasinnya. Sekarang, mari lanjutkan belajar filsafat lagi. Hihihi...

Logika, seperti telah kita bahas dalam uraian sebelumnya, memiliki materi yang sederhana tapi juga mendasar. Walaupun telaah lanjutannya dapat menghasilkan suatu pengkajian yang super sulit bin sukar, tapi kita sebenarnya tidak membutuhkan model kajian yang serupa itu. Kalau dapat dibuat mudah, kenapa tidak? Ini yang akan kita pelajari dalam pembahasan kali ini. Supaya hal ini terlaksana, kita akan bahas kasus yang dialami oleh kita dalam kehidupan sehari-hari.

Misalnya kita punya kasus seperti ini:

Aslam adalah seorang petani. Ia bekerja membanting tulang setiap hari. Selepas Subuh, ia langsung berangkat ke sawah untuk memulai pekerjaan sebagai seorang penggarap. Dari mulai mencangkul lahan, membenihkan padi, menanam bibit, memupuknya, menyiangi rumput yang ikut tumbuh, membenarkan galangan sawah yang bolong-bolong oleh ketam atau rusak diterjang anak-anak, mengatur air agar selalu menggenang, mengusir burung yang hinggap saat padi hendak matang, hingga memanen padi, menimbang, lalu menjualnya ke pasar. Semua pekerjaan ia lakukan sendiri.

Suatu saat, ia mengeluh karena merasa capai dengan semua pekerjaannya itu. Ia mengeluh pada istrinya. Kata Aslam, "Bu, coba aku sekolahnya bisa sampai tamat SD. Atau, kayak Samir itu lho! Sarjana, punya titel, kerja kantoran, gak kepanasan, juga dapat gaji tiap bulan. Gak kayak aku ini. Sehari-hari ya cuma dapat pas-pasan. Kadang cukup, kadang nggak." Istrinya menjawab: "Ya sudah. Bapak terima nasib aja. Yang penting, anak-anak kita ga kayak bapaknya."

Sekarang, coba analisis kasus di atas dengan menggunakan logika. Jawaban seperti apa yang bisa dihasilkan oleh Logika atas kasus di atas? Mau tahu jawabannya? (Iya dong! Gimana sih, udah tahu malah nanya. Sabar-bar, beri saya waktu untuk berpikir. ^_^? )

Satu-satunya jawaban yang dapat diberikan oleh Logika Formal untuk kasus di atas adalah bahwa dalam kasus ini Aslam menggunakan pola pikir Induktif. Kenapa demikian? Ini karena Aslam menyimpulkan sesuatunya berdasarkan pada banyak pekerjaan yang ia lakukan. Akan tetapi, kalau menggunakan format Logika Material, kasus di atas menyimpan masalah tentang fakta yang tak diungkapkan. Misalnya, apakah ketika panen padi Aslam tidak dibantu oleh satu orang pun? Berapakah luas sawah yang digarap oleh Aslam sehingga ia dapat melaksanakan semua pekerjaannya itu sendirian?

Nah, dengan jawaban ini kita sudah masuk dalam pembahasan istilah baru dari kajian Logika. Mungkin Anda sudah menangkap maksudnya. Tetapi, kalau belum jelas, saya akan paparkan satu-satu.

Logika Formal dan Logika Material adalah salah satu model dari pembagian Logika. Formal di sini dimaksud sebagai suatu pengertian yang mengacu pada bentuk baku yang telah ditetapkan untuk suatu hal berdasarkan kaidah-kaidah logika. Sedangkan Material, ini dimengerti sebagai isi dari suatu hal yang dapat dibuktikan atau dapat diverifikasi (diuji) kesahihannya berdasarkan pada kenyataannya di dunia. Bingung? (Bagus kalau bingung. Itu baru namanya belajar logika. Bukan belajar bahasa lho! ;-) )

Contoh di bawah ini akan lebih menjelaskan.

(Contoh 1)

Misal, kita punya dua pernyataan:
(1) Semua manusia itu akan mati
(2) Aslam itu manusia

Kesimpulannya akan menjadi:
(3) Aslam itu akan mati

Contoh di atas ini merupakan suatu pola pikir Deduktif yang lolos dari ujian Logika Formal maupun Material. Kenapa? Ini karena tiga pernyataan di atas sudah memenuhi syarat baku dalam kaidah Formal, maupun benar secara isi seperti yang dikehendaki dalam syarat Material. Berikut kaidah Formal dalam logika yang dimaksud.

(1.1) A is B
(2.1) C is A
------------
(3.1) C is B

Keterangan:
Pernyataan 1.1 disebut dengan Premis Mayor (Pernyataan Umum).
Pernyataan 2.1 disebut dengan Premis Minor (Pernyataan Khusus).
Pernyataan 3.1 disebut dengan Konklusi (Kesimpulan).
Kata "is" ini disebut dengan Kopula (atau mirip dengan lambang "=" dalam Matematika).
Kata "itu", "ini", atau "adalah" biasa digunakan sebagai Kopula untuk pernyataan logis dalam bahasa Indonesia.

Terus bagaimana dengan syarat Materialnya? Bagaimana penjelasannya?

Kita berikan satu contoh lagi di bawah ini agar dapat Anda bandingkan.

(Contoh 2)
(1.2) Semua manusia itu berumur panjang
(2.2) Aslam itu manusia
--------------------------------------------
(3.2) Aslam itu berumur panjang

Pada contoh terakhir, walaupun sudah memenuhi syarat sesuai dengan kaidah Formal di atas, kita bisa mengetahui bahwa kesimpulannya keliru. Contoh 2 ini menyimpulkan bahwa Aslam itu akan memiliki umur yang panjang. Padahal, mungkin saja kalau Aslam ini berumur pendek. Jadi, untuk contoh 2, kita dapat mengatakan bahwa contoh ini valid/sahih secara formal tetapi keliru secara material.

Terakhir, mungkin Anda masih penasaran dengan dua istilah ini, yaitu: Induktif dan Deduktif. Untuk istilah Deduktif, saya sudah berikan contohnya dalam contoh 1. Begitulah yang disebut pola pikir Deduktif. Sedangkan untuk Induktif, inilah contohnya:

(Contoh 3)
(1.3) Aslam itu akan mati
(2.3) Aslam itu manusia
------------------------------------
(3.3) Semua manusia itu akan mati

Jadi, Anda bisa bandingkan contoh 1 dan contoh 3 ini. Semua pernyataannya sama persis. Hanya saja, dalam contoh 1, pernyataan 3.3 ada dan berlaku sebagai Premis Mayor. Sedangkan pada contoh di sini, pernyataan tersebut malah menjadi Konklusi.

Sekarang, mudah-mudahan Anda dapat mempelajarinya dengan baik dan memahami serba sedikit dari pembahasan Logika beserta model penerapannya dalam menganalisis kehidupan sehari-hari. Oya, sebagai tambahan informasi, kaidah Formal yang dimaksud di atas dalam kajian Logika dinamakan dengan Silogisme. Penemunya adalah filsuf masyhur yang pernah menjadi guru Alexander Agung (356-323 SM). Beliau tidak lain daripada Aristoteles (384-322 SM) atau sang Father of Logics.

Demikian belajar logika kali ini. Sampai jumpa di posting berikutnya!

FILSAFAT ITU INDAH

MITOS BAHWA FILSAFAT ITU SULIT BERGENTAYANGAN DI KAMPUS
Beberapa mahasiswa saya mengeluh, ketika saya baru pertama memasuki ruangannya, karena mendengar saya akan mengajarkan filsafat ilmu. Usut punya usut ternyata dibenak mereka sudah punya preferen negatif, dan kita dinina bobokan oleh mitos yang acapkali bergentayangan di kampus. Mitos itu mensuarakan bahwa filsafat adalah sebuah mata kulaih yang sulit, dan tidak memiliki manfaat di dunia kehidupan. Secara pragmatis juga dikatakan bahwa filasafat tidak berguna di dunia kerja, dan dunia kehidupan sehari-hari. Agar kita mencitai sekaligus bersemangat mempelajari filsafat, gudang filsafat akan mensadap beberapa pengertian yang mudah cerna, selengkapnya sebagai berikut.
PATOKAN-PATOKAN DASAR/CIRI-CIRI BERFIKIR FILSAFAT:
  • Berpikir sampai ke akar-akar permasalahan atau berpikir secara radikal. Ini berarti kita berpikir samapai ke inti atau hakikat dari obyek pemikiran kita, yaitu permasalahan yang kita hadapi
  • Berpikir universal. Filsafat mencerminkan pengalaman umum manusia. Oele karena itu ciri pemikiran kita haruslah bersifat universal dan bukannya parsial atau bagian-bagian, sebagaimana yang terjadi dalam ilmu
  • Koheren dan runtut atau konsisten: berpikir koheren berarti sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir. Runtut atau konsisten berarti tidak mengandung pertentangan atau kontradiksi
  • Sistematik: berpikir sistematik bearti semua pandangan yang dianalisis selalu berhubungan secara teratur dengan maksud tertentu
  • Komprehensif yang berarti menyeluruh.Filsafat merupakan keterbukaan total terhadap realitas atau totalitas
  • Bebas: pemikiran filosofis adalah hasil pemikiran yang bebas dari prasangka-prasangka sosial historis, kultural dan religius
  • Bertanggung jawab: kita berpikir dan bertanggung jawab atas hasil pemikiran kita dan paling tidak bertanggung jawab terhadap hati nurani kita sediri
DARI PANDANGAN HIDUP MENJADI ILMU
Filsafat dapat kita pandang dari dua sisi, dari perpektif pandangan hidup dan perpektif Ilmu. Kemudian proses-proses yang membawa filsafat dari pandangan hidup menuju ilmu yang bersifat akademis, dipaparkan buku ini sebagai berikut:
  1. Filsafat berkembang menjadi disiplin khusus karena dirinya mampu mengerahkan segenap segala usaha kepada kebijaksanaan, dan selalu memperbanyak refleksi dan berupaya menemukan akar atau kriteria untuk membedakan secara ekstrem antara kebenaran dan kesalahan, keburukan dan kebaikan, atau bagaimana membedakan hal yang bersifat ilusif dan riil. Dengan itu semua filsafat membuka banyak refleksi tentang pengalaman dalam kehidupan sehari-hari
  2. Lewat berbagai refleksi, filsafat juga memahami dirinya sebagai bentuk dari cinta [philia]. Filsafat juga memahami dirinya dalam berbagai keadaan untuk bergerak maju dan selalu mencari pengetahauan yang tidak atau belum diketahui.
FUNGSI DAN TUGAS FILSAFAT DALAM HUBUNGANNYA DENGAN ILMU
Fungsi dan tugas filsafat dalam hubungannya dengan ilmu, buku ini membentangkan pemikiran sebagai berikut:
  1. Secara tradisonal-historis, filsafat dilihat sebagai ratu segala ilmu, kendati ketika ilmu-ilmu mulai memisahkan diri dari filsafat, fungsi seperti ini semakin diakui.
  2. Terdapat beberapa fungsi penting filsafat dalam dunia ilmu, antara lain:
[]Filsafat merangsang hipotesis-hipotesis baru bagi ilmu lain atau teori ilmu pengetahuan
[]Sebagai pendasar filsafat menyelidiki mekanisme mencari pengetahuan dari ilmu tertentu, yakni secara kritis menyelidiki anggapan, pengertian dan metodenya sendiri
[]Fungsi sintesis:Membuat sintesis dari hasil dan pandangan dunia ilmu
[]Fungsi Kritis: mengeritik ajaran-ajaran ideologis dan filosofis, teknik, ekonomi, dan lain-lain [kritik ideologi]
[]Fungsi sosial-konstruktif: kritik terhadap situasi masyarakat demi kebaikkan dan kemanusiaan. Kritik ini tidak didasarkan pada intuisi melainkan berdasarkan pada pengetahuan dan pengalaman, relasi antar manusia, antropologi, sosiologi dan etnologi
[]Fungsi pedagogis:pendidikan untuk berpikir kelas [logis-filosofis], disiplin berpikir dan berbicara
LIMA PRINSIP DALAM DALAM BERFILSAFAT
Buku ini juga mengadopsi pemikiran The liang Gie terkait dengan prinsip-prinsip berfilsafat:
Filsafat menghalau kecongkakan dan kesombongan intelektual yang selalu berprinsip bahwa kita sudah tahu segala sesuatu. Halangan paling utama dalam proses pembelajaran ialah pandangan kita sudah tahu segala sesuatu. Dengan ini kita kehilangan rasa ingin tahu dan kemampuan untuk belajar lebih banyak lagi.
Kesetiaan kepada kebenran dan keberanian untuk mempertahankan kebenaran itu. Ini sudah diperlihatkan oleh bapak filsafat, Sokrates, yang dengan berani menerima hukuman mati secara tidak adil dengan siap menelan pil beracun dan mematikan
Memahami secara sungguh-sungguh pelbagai persoalan filsafat dan berusaha menemukan jawabannya. Dengannya kita terlibat dalam latihan berpikir yang terus menerus [intellectual exercises]
Latihan-latihan intelektual untuk menilai masalah secara kritis dan memecahkannya dapat kita lakukan secara lisan tetapi juga secara terulis. Karena itu latihan untuk berbicara dan mengungkapkan diri dalam dialog dan komunikasi dengan orang lain sangat penting. Juga latihan inteltual terus menerus kita buat melalui karya tulis menulis dalam bentk apa saja
Keterbukaan diri terhadap pelbagai persoalan dan konteks hidup kita. Kita berusaha menghindarkan pelbagai pandangan sempit atau hanya berpihak pada satu pandangan tertentu saja.
Data buku
JUDUL:Filsafat itu Indah
PENULIS:Dr. Konrad Kebung.SVD
PENERBIT:Prestasi Pustakaraya

REKONSTRUKSI ILMU-CECEP SUMARNA

EMPIRIK-RASIONAL ATEISTIK KE EMPIRIK-RASIONAL TEISTIK
Kegelisahaan sang filsof selalu membuta energi menjadi cahaya, bahkan kekuatan berpikir refketifnya memberikan pencerahan kepada kehidupan. Mungkin hal ini sama dengan kegelisahan yang dihadapi oleh seorang-orang bernama Cecep Sumarna, yakni seorang Dosen yang juga Ketua Program Studi Tadris Ilmu Pengethauan Sosial ekonomi Koperasi STAIN Cirebon. Kegelisahan itu memicu lahirnya sebuah buku yang berjudul "Rekosntruksi Ilmu"
Menurutnya saat ini para saintis telah memasuki wilayah mutlak Tuhan, saintis telah berhasil mengubah ilahiyah yang permanen kepada insaniyah yang immanen.
Dengan penuh semangat buku ini membongkar/mendekonstruksi bangunan filsafat dan Sains Barat Modern yang dainggap sudah tertata rapi, final, dan baku, namun sesungguhnya "kosong melompong" dari makna dan nilai-nilai kemanusiaan. Inilah penggaran axiologi yang amat kentara. Buku ini sangat istimewa ketika pengantar diberikan oleh Dr.Jaih Mubarok yang membentangkan Filsafat Ilmu sangat mendasar sekali, bahkan dengan bahsa yang mudah cerna, melalui garapan yang sistematis. Dengan membaca tulisan Dr. Jaih Mubarok ini, maka orang akan mudah menangkap makna filsasat ilmu, sehingga sangat disarankan para pembaca yang baru saja masuk wilayah Filsafat ilmu membaca buku ini.Hadirnya buku ini tidak lepas dari perenungan dan perhatian penulis melihat fenomena dan fakta empirik yang terjadi. Buku ini mjuga merupakan bagian penting dari literatur yang membicarakan perkembangan pengetahuan manusia yang termasuk Tradisi Besar [Great Tradition; karena telah berupaya menggambarkan pemikiran modernisme yang diagungkan dan kemudian dinilai gagal. Penilaian gagal ini ditunjukkan oleh kecenderungan hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan tuhan yang tidak harmonis. Dan hubungan uitu justru menanggalkan nilai-nilai [filsafat nilai], yang kerap pula kita sebut dengan axiologi. Olah karenanya faham, modernisme harus dan layak didekonstruksi kewilayah yang tetap mengedepankan nilai-nilai. [maaf belum tuntas]
Data buku
JUDUL: Rekonstruksi Ilmu; Dari Empirik-Rasional Ateistik Ke empirik-Rasional Teistik
PENULIS: Drs. Cecep Sumarna, Mag
PENERBIT: Benang Merah Press. Komp. Bumi penyileukan, B-8 No. 1. Cibiru, Bandung 40614. Telp. 081320781073. E-mail: benangmerah_bdg@plasa.com
ISBN: 979-98351-6-X
TEBAL: 188 halaman
CETAKAN: Oktober 2005
[]