METODE DAN PENDEKATAN FILSAFAT POLITIK


dari segi metode, menjawab pertanyaan normative
1.      Pendekatan Sebagian vs Sistematis (Piecemal vs Sistematic Approach)
a.       Pendekatan sebagian
·         pendekatan sebagian dalam studi filsafat politik mengambil bentuk berupa pencarian konsep-konsep normatif (project of normative inquiry). Dalam pencarian konsep-konsep normatif, kajian tentang demokrasi, misalnya, dikembangkan dengan memeriksa apakah demokrasi dapat diterima sebagai sesuatu yang bernilai atau tidak bernilai (Analisis Konseptual).
·         Pendekatan sebagian dapat mendorong munculnya penemuan yang lebih mendalam dan kritis mengenai konsep atau isu penting tertentu dalam filsafat politik dan akan membantu menjelaskan relevansinya dengan situasi aktual yang kita hadapi.  
b.      Pendekatan sistematis
·         berusaha "mengembangkan proyek yang sistematis dan bersifat mencakup semua filsafat praktis tentang politik" (Brown, 1986, p. 15). Dengan ini, pertama, filsafat politik melangkah jauh dari sekadar "proyek analisis konseptual", yaitu memberikan perhatian terhadap masalah yang muncul dalam kehidupan politik dengan memberikan petunjuk tentang prinsip keadilan atau bentuk pemerintahan. Kedua, dengan pendekatan sistematis, filsafat politik juga dibedakan dari sekadar usaha terlibat dalam pencarian secara sebagian atas premis nilai yang bersifat normatif (piecemal normative inquire). Kajian tentang konsep demokrasi misalnya akan gagal jika dilihat hanya sebagai nilai (untuk ditolak atau disetujui) tanpa usaha mengkaitkannya dengan keseluruhan nilai yang mendasari sebuah masyarakat.
·         pendekatan sistematis menyarankan bahwa filsafat politik perlu terlibat dalam totalitas citra politik, yaitu dengan terus menerus menemukan konsistensi pandangan politik satu sama lain, dan karena itu mengharuskan bentuk kajian yang bersifat perbandingan (interdisciplinary) atau memperhatikan antar hubungan dari berbagai pandangan politik.
2.      Pendekatan pemecahan masalah vs pendekatan kritis
a.       Pendekatan pemecahan masalah
Dengan pendekatan ini, sistem ekonomi yang didasarkan pada paham kapitalisme atau sosialisme, misalnya, akan diterima sebagai sesuatu yang dalam dirinya sendiri tanpa cacat ; berbagai masalah yang timbul didalamnya hanya dilihat sebagai masalah teknis atau managerial semata sehingga memungkinkan sistem itu bekerja secara lebih efektif dan efisien. Begitu juga, sebuah sistem dari kepemerintahan internasional (international governance) yang berlandaskan pada kedaulatan negara, jika diterima sebagai “kenyataan“ juga akan memungkinkan munculnya anggapan bahwa tidak realistik untuk mengharapkan apalagi mengajukan perubahan ekstensif terhadap sistem itu.
b.      Pendekatan kritis
Pendekatan kritis, menurut Cox, juga ”diarahkan pada kompleksitas sosial dan politik sebagai keseluruhan daripada pada bagian yang terpisah” (1986, p. 208). Artinya menyajikan formula yang dapat dipergunakan dalam menjawab kompleksitas sosial, politik dan ekonomi sebagai keseluruhan, dan bukan menangani bagian tertentu dari isu sosial, politik atau ekonomi.
J.H. Rapar, Filsafat Politik, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001),

ANTARA FILSAFAT DAN ILMU

Hubungan Antara Filsafat dan Ilmu
Filsafat dan ilmu mempunyai relasi atau yang juga biasa disebut dengan hubungan, di mana hubungan tersebut sangatlah signifikan. Namun sebelum kami membahas lebih jauh tentang hubungan antara filsafat dengan ilmu terlebih dahulu kami akan mengulang sekilas tentang pengertian filsafat dan ilmu secara singkat. Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu, dengan mencari sebab-sebab yang terdalam, berdasarkan kekuatan pikiran manusia sendiri. Jadi dalam filsafat tersebut terdapat metode dan sistem sendiri dalam usahanya untuk mencari hakikat dari segala seuatu, dan yang dicari ialah sebab-sebab yang terdalam. Ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan mengenai suatu hal tertentu (objek atau lapangannya), yang merupakan kesatuan yang sistematis, dan memberikan penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan dengan menunjukkan sebab-sebab hal itu.
Ditinjau dari segi historis, hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat mencolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia”meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis, Karena filsafat mencakup seluruh bidang ilmu pengetahuan. Lebih lanjut Nuchelmans (1982), mengemukakan bahwa dengan munculnya ilmu pengetahuan alam pada abad ke-17, maka mulailah terjadi perpisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian dapatlah dikemukakan bahwa sebelum abad ke-17 tersebut ilmu pengetahuan identik dengan filsafat. Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Van Peursen (1985), yang mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut. Dan juga, Bahasa yang dipakai dalam filsafat dan ilmu dalam beberapa hal saling tumpang tindih. Bahasa yang dipakai dalam filsafat berusaha berbicara mengenai ilmu, dan bukan berbicara di dalamnya ilmu.
Dalam perkembangan lebih lanjut menurut Koento Wibisono (1999), filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana ‘pohon ilmu pengetahuan’ telah tumbuh mekar-bercabang secara subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri. Meskipun demikian, filsafat dan ilmu pengetahuan masih memiliki hubungan dekat. Sebab baik filsafat maupun ilmu pengetahuan sama-sama pengetahuan yang metodis, sistematis, koheren dan mempunyai  obyek material dan formal. Filsafat juga memberi sumbangan dan peran sebagai induk yang melahirkan dan membantu mengembangkan ilmu pengetahuan hingga ilmu pengetahuan itu dapat hidup dan berkembang, serta membantu ilmu pengetahuan untuk bersikap rasional dalam mempertanggungjawabkan ilmunya.
Perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu tepatlah apa yang dikemukakan oleh Van Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan. Filsafat di sini sangatlah berperan penting sebagai jembatan serta wadah antara perbedaan ilmu yang satu dengan ilmu yang lain. Hal ini senada dengan pendapat Immanuel Kant (dalam Kunto Wibisono dkk., 1997) yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat. Oleh sebab itu Francis Bacon (dalam The Liang Gie, 1999) menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (the great mother of the sciences).  
Lebih lanjut Koento Wibisono dkk. (1997) menyatakan, karena pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan a higher level of knowledge”,maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya: Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler (dalam The Liang Gie, 1999), yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu.
Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat. Dengan mengutip ungkapan dari Michael Whiteman (dalam Koento Wibisono dkk.1997), bahwa ilmu kealaman persoalannya dianggap bersifat ilmiah karena terlibat dengan persoalan-persoalan filsafati sehingga memisahkan satu dari yang lain tidak mungkin. Sebaliknya, banyak persoalan filsafati sekarang sangat memerlukan landasan pengetahuan ilmiah supaya argumentasinya tidak salah.
Lebih jauh, Jujun S. Suriasumantri (1982:22), –dengan meminjam pemikiran Will Durant– menjelaskan hubungan antara ilmu dengan filsafat dengan mengibaratkan filsafat sebagai pasukan marinir yang berhasil merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri ini adalah sebagai pengetahuan yang di antaranya adalah ilmu. Filsafatlah yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan. Setelah itu, ilmulah yang membelah gunung dan merambah hutan, menyempurnakan kemenangan ini menjadi pengetahuan yang dapat diandalkan.
Perbedaan Antara Filsafat dengan Ilmu
Sebagaimana yang telah kami paparkan di atas bahwa filsafat dan ilmu mempunyai hubungan yang sangat erat, namun keduanya juga memiliki perbedaan. Prof. Sikun Pribadi mengemukakan perbedaan antara filsafat dan ilmu pengetahuan, yakni; jelaslah, bahwa perbedaan antara filsafat dan ilmu pengetahuan, ialah bahwa ilmu pengetahuan bertolak dari dunia fakta (jadi bersifat ontis), sedangkan filsafat bertolak dari dunia nilai, artinya selalu menghubungkan masalah dengan makna keseluruhan hidup (jadi bersifat deontis), walaupun kedua bidang aktivitas manusia itu sifatnya kognetif.
Jadi ilmu berhubungan dengan mempersoalkan fakta-fakta yang faktual, yang diperoleh dengan eksperimen, observasi, dan verifikasi, hanya berhubungan sebagian dari aspek kehidupan atau kejadian yang ad di dunia ini, sedangkan keseluruhan yang bermakna mengemukakan perbedaan antara filsafat dan ilmu sebagai berikut :
1)         Ilmu berhubungan dengan lapangan yang terbatas, sedangkan filsafat mencoba berhubungan dengan keseluruhan pengalaman, untuk memperoleh suatu pandangan yang lebih komprehensif tentang sesuatu.
2)       Ilmu menggunakan pendekatan analitis dan deskriptif, sedangkan filsafat sintetis atau sinoptis, berhubungan dengan sifat-sifat dan kualitas alam dan hidup secara keseluruhan.
3)       Ilmu menganalisis keseluruhan menjadi bagian-bagian, dan organis menjadi organ-organ, filsafat mencoba membedakan sesuatu dalam bentuk sintesis yang menjelaskan dan mencari makna sesuatu secara keseluruhan.
4)       Ilmu menghilangkan factor-faktor pribadi yang subyektif, namun filsafat tertarik kepada personalitas nilai-nilai dan semua pengalaman.
5)       Ilmu tertarik kepada hakikat sesuatu sebagaimana adanya, sedangkan filsafat tidak hanya tertarik kepada bagian-bagian yang nyata, melainkan juga kepada kemungkinan-kemungkinan yang ideal dari suatu benda, nilai, dan maknanya.
6)       Ilmu meneliti alam, mengontrol proses alam sedangkan tugas filsafat mengadakan kritik, menilai dan mengkoordinasikan tujuan.
7)        Ilmu lebih menekankan kepada deskripsi hokum-hukum fenomenal dan hubungan kausal.
Filsafat tertarik dengan hal-hal yang berhubungan dengan pertanyaan “why” dan “how”. Ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan jalan penyeledikan, pengalaman (empiris) dan percobaan (eksperimen) sebagai batu ujian. Ilmu bersifat pasteriori. Artinya ilmu menarik sebuah kesimpulannya setelah melakukan pengujian-pengujian secara berulang-ulang. Untuk kasus tertentu, ilmu bahkan menuntut untuk diadakannya percobaan dan pendalaman untuk mendapatkan esensinya.
Sedangkan Filsafat mendekati kebenaran dengan metode yang cukup sistemik yakni menggunakan akal budi secara radikal, dan integral serta universal, tidak terikat oleh ikatan apapun, kecuali ikatan tangannya sendiri yang disebut ’logika’. Filsafat bersifat apriori, yaitu kesimpulan-kesimpulannya ditarik tanpa pengujian. Sebab filsafat tidak mengharuskan adanya data empiris seperti dimiliki ilmu. Karena filsafat bersifat spekulatif dan kontemplatif yang ini juga dimiliki ilmu. Kebenaran filsafat tidak dapat dibuktikan oleh filsafat itu sendiri, tetapi hanya dapat dibuktikan oleh teori-teori keilmuan melalui observasi dan eksperimen atau memperoleh justifikasi kewahyuan. Dengan demikian, tidak setiap filosof dapat disebut sebagai ilmu, sama seperti tidak semua ilmuwan disebut filosof.
 Selain itu, Filsafat menyelidiki, membahas, serta memikirkan seluruh alam kenyataan, dan menyelidiki bagaimana hubungan kenyataan satu sama lain. Jadi filsafat memandang satu kesatuan yang belum dipecah-pecah serta pembahasannya secara keseluruhan. Sedangkan ilmu-ilmu lain atau ilmu vak menyelidiki hanya sebagian saja dari alam maujud ini, misalnya ilmu hayat membicarakan tentang hewan, tumbuh-tumbuhan, dan manusia; ilmu bumi membicarakan tentang kota, sungai, hasil bumi, dan sebagainya. Filsafat tidak hanya menyelidiki tentang sebab akibat, tetapi menyelidiki hakikatnya sekaligus. Sedangkan ilmu vak membahas tentang sebab dan akibat suatu peristiwa. Dalam pembahasannya filsafat menjawab apa ia sebenarnya, dari mana asalnya, dan hedak kemana perginya. Sedangkan ilmu vak harus menjawab pertanyaan bagaimana dan apa sebabnya.
Ada yang mengatakan bahwa antara ilmu, filsafat dan agama memiliki hubungan. Namun demikian, tidak menafikan terhadap pandangan bahwa satu sama lain merupakan ‘sesuatu’ yang terpisah; di mana ilmu lebih bersifat empiris, filsafat lebih bersifat ide dan agama lebih bersifat keyakinan. Menurut Muhammad Iqbal dalam Recontruction of Religious Thought in Islam sebagaimana dikutip Asif Iqbal Khan (2002), “Agama bukan hanya usaha untuk mencapai kesempurnaan, bukan pula moralitas yang tersentuh emosi”. Bagi Iqbal, agama dalam bentuk yang lebih modern, letaknya lebih tinggi dibandingkan puisi. Agama bergerak dari individu ke masyarakat. Dalam geraknya menuju pada realitas penting yang berlawanan dengan keterbatasan manusia. Agama memperbesar klaimnya dan memegang prospek yang merupakan visi langsung realitas. (Asif Iqbal Khan, Agama, Filsafat, Seni dalam Pemikiran Iqbal, 2002: 15)
Menurut Asif (2002: 16), sekalipun diekspresikan dalam jargon filsafat kontemporer, tetapi mempunyai tujuan yang sama dengan para ilmuwan Islam pada abad pertengahan yaitu menyeimbangkan agama di satu pihak dengan ilmu pengetahuan modern dan filsafat utama sebagaimana tertuang dalam pendahuluan buku rekonstruksinya, yaitu “untuk merekonstruksi filsafat religious Islam sehubungan dengan tradisi filsafat Islam dan perkembangan lebih lanjut berbagai bidang ilmu pengetahuan manusia”. Iqbal menegaskan dengan optimis, “waktunya sudah dekat bagi agama dan ilmu pengetahuan untuk membentuk suatu harmoni yang tidak saling mencurigai satu sama lain”.
Untuk lebih adilnya dalam menilai hubungan ketiganya, patut dicermati pandangan Endang Saifuddin Anshari (Ilmu, Filsafat dan Agama, 1979) yang menyebutkan di samping adanya titik persamaan, juga adanya titik perbedaan dan titik singgung. Baik ilmu maupun filsafat atau agama, bertujuan (sekurang-kurangnya berurusan dengan hal yang sama), yaitu kebenaran. Ilmu pengetahuan dengan metodenya sendiri mencari kebenaran tentang alam dan manusia. Filsafat dengan wataknya sendiri pula menghampiri kebenaran, baik tentang alam, manusia dan Tuhan. Demikian pula agama, dengan karakteristiknya pula memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia tentang alam, manusia dan Tuhan. (Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, 1979: 169)
Masih menurutnya, baik ilmu maupun filsafat, keduanya hasil dari sumber yang sama, yaitu ra’yu manusia (akal, budi, rasio, reason, nous, rede, vertand, vernunft). Sedangkan agama bersumberkan wahyu dari Allah. Ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan jalan penyelidikan (riset, research), pengalaman (empirik) dan percobaan. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara mengembarakan atau mengelanakan akal budi secara radikal dan integral serta universal tidak merasa terikat dengan ikatan apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri bernama logika. Kebenaran ilmu pengetahuan adalah kebenaran positif (berlaku sampai dengan saat ini), sedangkan kebenaran filsafat adalah kebenaran spekulatif(dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiris, riset dan eksperimental). Baik kebenaran ilmu maupun kebenaran filsafat bersifat nisbi (relatif), sedangkan kebenaran agama bersifat mutlak (absolut), karena agama adalah wahyu yang di turunkan Dzat Yang Maha Benar, Maha Mutlak dan Maha Sempurna.
Baik ilmu maupun filsafat, kedua-duanya dimulai dengan sikap sangsi atau tidak percaya. Sedangkan agama dimulai dengan sikap percaya dan iman. Adapun titik singgung, adalah perkara-perkara yang mungkin tidak dapat dijawab oleh masing-masingnya, namun bisa dijawab oleh salah satunya. Gambarannya, ada perkara yang dengan keterbatasan ilmu pengetahuan atau spekulatifnya akal, maka keduanya tidak bisa menjawabnya. Demikian pula dengan agama, sekalipun agama banyak menjawab berbagai persoalan, namun ada persoalan-persoalan manusia yang tidak dapat dijawabnya. Sementara akal budi, mungkin dapat menjawabnya.
Jadi, kesimpulannya, ketiga-tiganya memiliki hubungan dan tidak perlu dibenturkan satu sama lain selama diyakini bahwa ilmu manusia memiliki keterbatasan. Demikian pula dengan filsafat, selama difahami sebagai proses berfikir bukan sebagai penentu. Adapun agama dapat diyakini, selama dapat dibuktikan dengan dalil-dalil yang dapat dipertangung jawabkan. Jadi, Titik singgung filsafat dan agama adalah filsafat berusaha mendapatkan pengertian yang satu dan lengkap tentang dunia, sedangkan Agama berusaha lebih dari itu, karena Agama berusaha memastikan kesatuan yang seimbang antara manusia dan dunia, terutama antara individu dan Tuhan.

ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN

Aliran filsafat pendidikan:

  1. Filsafat pendidikan progresivisme yang didukung oleh filsafat pragmatisme.
  2. Filsafat pendidikan esensialisme yang didukung oleh idealisme dan realisme; dan
  3. Filsafat pendidikan perenialisme yang didukung oleh idealisme.

Progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman menurut progresivisme bersifat dinamis dan temporal, menyala. tidak pernah sampai pada yang paling ekstrem, serta pluralistis. Menurut progresivisme, nilai berkembang terus karena adanya pengalaman-pengalaman baru antara individu dengan nilai yang telah disimpan dalam kebudayaan. Belajar berfungsi untuk mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks.  Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan.

Esensialisme berpendapat bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela yang mengatur dunia beserta isinya dengan tiada cela pula. Esensialisme didukung oleh idealisme modern yang mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam semesta tempat manusia berada.

Esensialisme juga didukung oleh idealisme subjektif yang berpendapat hahwa alam semesta itu pada hakikatnya adalah jiwa/spirit dan segala sesuatu yang ada ini nyata ada dalam arti spiritual. Realisme berpendapat bahwa kualitas nilai tergantung pada apa dan bagaimana keadaannya, apabila dihayati oleh subjek tertentu, dan selanjutnya tergantung pula pada subjek tersebut.

Menurut idealisme, nilai akan menjadi kenyataan (ada) atau disadari oleh setiap orang apabila orang yang bersangkutan berusaha untuk mengetahui atau menyesuaikan diri dengan sesuatu yang menunjukkan nilai kepadanya dan orang itu mempunyai pengalaman emosional yang berupa pemahaman dan perasaan senang tak senang mengenai nilai tersehut. Menurut realisme, pengetahuan terbentuk berkat bersatunya stimulus dan tanggapan tententu menjadi satu kesatuan. Sedangkan menurut idealisme, pengetahuan timbul karena adanya hubungan antara dunia kecil dengan dunia besar. Esensialisme berpendapat bahwa pendidikan haruslah bertumpu pada nilai-nilai yang telah teruji ketangguhan, dan kekuatannya sepanjang masa.

Perenialisme berpendirian bahwa untuk mengembalikan keadaan kacau balau seperti sekarang ini, jalan yang harus ditempuh adalah kembali kepada prinsip-prinsip umum yang telah teruji. Menurut perenialisme, kenyataan yang kita hadapi adalah dunia dengan segala isinya. Perenialisme berpandangan hahwa persoalan nilai adalah persoalan spiritual, sebab hakikat manusia adalah pada jiwanya. Sesuatu dinilai indah haruslah dapat dipandang baik.

Obyek Kajian Filsafat Pendidikan

Dalam rangka menggali, menyusun, dan mengembangkan pemikiran kefilsafatan tentang pendidikan terutama pendidikan Islam, maka perlu diikuti pola dan pemikiran kefilsafatan pada umumnya.

Adapun pola dan sistem pemikiran kefilsafatan sebagai suatu ilmu adalah:
  • Pemikiran kefilsafatan harus bersifat sistematis, dalam arti cara berfikirnya bersifat logika dan rasional tentang hakikat permasalahan yang dihadapi. Hasil pemikirannya tersusun secara sistematis artinya satu bagian dengan bagian lainnya saling berhubungan.
  • Tinjauan terhadap permasalahan yang dipikirkan bersifat radikal artinya menyangkut persoalan yang mendasar sampai keakar-akarnya.
  • Ruang lingkup pemikirannya bersifat universal, artinya persoalan-persoalan yang dipikirkan mencakup hal-hal yang menyeluruh dan mengandung generalisasi bagi semua jenis dan tingkat kenyataan yang ada di alam ini, termasuk kehidupan umat manusia, baik pada masa sekarang maupun masa mendatang.
  • Meskipun pemikiran yang dilakukan lebih bersifat spekulatif, artinya pemikiran-pemikiran yang tidak didasari dengan pembuktian-pembuktian empiris atau eksperimental (seperti dalam ilmu alam), akan tetapi mengandung nilai-nilai obyektif. Dimaksud dengan nilai obyektif oleh permasalahannya adalah suatu realitas (kenyataan) yang ada pada obyek yang dipikirkannya.

Secara makro (umum) apa yang menjadi obyek pemikiran filsafat, yaitu dalam ruang lingkup yang menjangkau permasalahan kehidupan manusia, alam semesta dan sekitarnya adalah juga obyek pemikiran filsafat pendidikan. Tetapi secara mikro (khusus) yang menjadi obyek filsafat pendidikan meliputi:
  1. Merumuskan secara tegas sifat hakikat pendidikan (The Nature of Education).
  2. Merumuskan sifat hakikat manusia sebagai subyek dan obyek pendidikan (The Nature Of Man).
  3. Merumuskan secara tegas hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan, agama dan kebudayaan.
  4. Merumuskan hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan dan teori pendidikan.
  5. Merumuskan hubungan antara filsafat negara (ideologi), filsafat pendidikan dan politik pendidikan (sistem pendidikan).
  6. Merumuskan sistem nilai norma atau isi moral pendidikan yang merupakan tujuan pendidikan.

Dengan demikian dari uraian diatas diproleh suatu kesimpulan bahwa yang menjadi obyek filsafat pendidikan ialah semua aspek yang berhubungan dengan upaya manusia untuk mengerti dan memahami hakikat pendidikan itu sendiri, yang berhungan dengan bagaimana pelaksanaan pendidikan dan bagaimana tujuan pendidikan itu dapat dicapai seperti yang dicita-citakan.

Fungsi dan Tugas Filsafat Pendidikan

Sebagai ilmu, pendidikan Islam bertugas untuk memberikan penganalisaan secara mendalam dan terinci tentang problema-problema kependidikan Islam sampai kepada penyelesaiannya. Pendidikan Islam sebagai ilmu, tidak melandasi tugasnya pada teori-teori saja, akan tetapi memperhatikan juga fakta-fakta empiris atau praktis yang berlangsung dalam masyarakat sebagai bahan analisa. Oleh sebab itu, masalah pendidikan akan dapat diselasaikan bilamana didasarkan keterkaitan hubungan antara teori dan praktek, karena pendidikan akan mampu berkembang bilamana benar-benar terlibat dalam dinamika kehidupan masyarakat. Antara pendidikan dan masyarakat selalu terjadi interaksi (saling mempengaruhi) atau saling mengembangkan sehingga satu sama lain dapat mendorong perkembangan untuk memperkokoh posisi dan fungsi serta idealisasi kehidupannya. Ia memerlukan landasan ideal dan rasional yang memberikan pandangan mendasar, menyeluruh dan sistematis tentang hakikat yang ada dibalik masalah pendidikan yang dihadapi.

Dengan demikian filsafat pendidikan menyumbangkan analisanya kepada ilmu pendidikan Islam tentang hakikat masalah yang nyata dan rasional yang mengandung nilai-nilai dasar yang dijadikan landasan atau petunjuk dalam proses kependidikan.

Tugas filsafat adalah melaksanakan pemikiran rasional analisis dan teoritis (bahkan spekulatif) secara mendalam dan memdasar melalui proses pemikiran yang sistematis, logis, dan radikal (sampai keakar-akarnya), tentang problema hidup dan kehidupan manusia. Produk pemikirannya merupakan pandangan dasar yang berintikan kepada “trichotomi” (tiga kekuatan rohani pokok) yang berkembang dalam pusat kemanusiaan manusia (natropologi centra) yang meliputi:
  • Induvidualisme
  • Sosialitas
  • Moralitas

Ketiga kemampuan tersebut berkembang dalam pola hubungan tiga arah yang kita namakan “trilogi hubungan” yaitu:
  • Hubungan dengan Tuhan, karena ia sebagai makhluk ciptaan-Nya.
  • Hubungan dengan masyarakat karena ia sebagai masyarakat.
  • Hubungan dengan alam sekitar karena ia makhluk Allah yang harus mengelola, mengatur, memanfaatkan kekayaan alam sekitar yang terdapat diatas, di bawah dan di dalam perut bumi ini.

Brubacher menulis tentang fungsi filsafat pendidikan secara terperinci, dan pokok pikirannya dapat diikhtisarkan sebagai berikut :

Fungsi Spekulatif.

Filsafat pendidikan berusaha mengerti keseluruhan persoalan pendidikan dan mencoba merumuskannya dalam satu gambaran pokok sebagai pelengkap bagi data-data yang telah ada dari segi ilmiah. Filsafat pendidikan berusaha mengerti keseluruhan persoalan pendidikan dan antar hubungannya dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi pendidikan.

Fungsi Normatif.

Sebagai penentu arah, pedoman untuk apa pendidikan itu. Asas ini tersimpul dalam tujuan pendidikan, jenis masyarakat apa yang ideal yang akan dibina. Khususnya norma moral yang bagaimana sebaiknya yang manusia cita-citakan. Bagaimana filsafat pendidikan memberikan norma dan pertimbangan bagi kenyataan-kenyataan normatif dan kenyataan-kenyataan ilmiah, yang pada akhirnya membentuk kebudayaan.

Fungsi Kritik.

Terutama untuk memberi dasar bagi pengertian kritis rasional dalam pertimbangan dan menafsirkan data-data ilmiah. Misalnya, data pengukuran analisa evaluasi baik kepribadian maupun achievement (prestasi). Fungsi kritik bararti pula analisis dan komparatif atas sesuatu, untuk mendapat kesimpulan. Bagaimana menetapkan klasifikasi prestasi itu secara tepat dengan data-data obyektif (angka-angka, statistik). Juga untuk menetapkan asumsi atau hipotesa yang lebih resonable. Filsafat harus kompeten, mengatasi kelemahan-kelemahan yang ditemukan bidang ilmiah, melengkapinya dengan data dan argumentasi yang tak didapatkan dari data ilmiah.

Fungsi Teori Bagi Praktek.

Semua ide, konsepsi, analisa dan kesimpulan-kesimpulan filsafat pendidikan adalah berfungsi teori. Dan teori ini adalah dasar bagi pelaksanaan/praktek pendidikan. Filsafat memberikan prinsip-prinsip umum bagi suatu praktek.

Funsi Integratif.

Mengingat fungsi filsafat pendidikan sebagai asa kerohanian atau rohnya pendidikan, maka fungi integratif filsafat pendidikan adalah wajar. Artinya, sebagai pemadu fungsional semua nilai dan asas normatif dalam ilmu pendidikan.

FILSAFAT ILMU

OBJEK MATERIAL DAN FORMAL FILSAFAT ILMU
Objek material yang terkandung dalam filsafat ilmu diantaranya adalah ilmu pengetahuan, yakni suatu pengetahuan yang disusun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya baik secara ilmiah ataupun secara umum.
Secara umum manusia terlibat dengan pengetahuan, secara normal dengan perangkat inderanya, akan tetapi seseorang dikatakan sebagai ilmuan apabila terlibat dalam aktivitas ilmiah secara konsisten serta merujuk kepada prasyarat-prasyarat yang seharusnya dipenuhi seorang ilmuan yakni :
a.  Prosedur Ilmiah
b.  Metode Ilmiah
c.  Adanya gelar berdasarkan pendidikan yang telah ditempuh
d. Kejujuran ilmiah, yakni suatu kemauan, keterlibatan dalam rangka meningkatkan profesionalitas keilmuannya.
Adapun objek formal filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan, adanya permasalahan-permasalahan yang mendasar pada ilmu pengetahuan yang berdasarkan pada :
a. Ontologis “ Apa hakikat ilmu itu sesungguhnya ?”
b. Epistimologi “Bagaimana cara mempeoleh kebenaran ilmiah ?”
c. Aksiologis “Apa fungsi ilmu pengetahuan bagi manusia ?”
Sedang menurut pengetian dari tiga dari objek formal filsafat ilmu diatas
sebagai berikut :
a.       Ontologis adalah bersifat objektif pada suatu pengembangan ilmu dimana objek pengen\mbangan bersifat realitas.
b.      Epistimologi adalah pengembangan ilmu artinya titik tolak penelaahan ilmu pengetahuan didasarkan atas cara dan prosedur dalam memperoleh kebenaran, dalam hal ini yang dimaksud adalah metode ilmiah. Adapun metode ilmiah secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni siklus empiric untuk ilmu-ilmu kealaman dan metode liener untuk ilmu-ilmu sosial – humaniora.
Yang dimaksud dengan siklus empiric meliputi :
1. Observasi
2. Penerapan metode induksi
3. Melakukan proses preruntasi (proses percobaan)
4. Verifikasi, suatu pengajuan ulang terhadap hipoteis yang diajukan sehingga menghasilkan suatu teori.
Yang dimaksud dengan metode liener meliputi :
1. Persepsi, suatu daya indrawi didalam menghadapi realitas
2. Kemudian disusun suatu pengertian atau konsepsi.
3. Kemudian dilakukan suatu prediksi atau perkiraan, ramalan tentang kemungkinan yang terjadi dimasa depan.
c. Aksiologis merupakan sikap etis yang harus dikembangkan oleh seorang ilmuan, terutama dalam kaitannya dengan nilai-nilai yang diyakini dengan kebenaran yang ideology, kepercayaan senantiasa dikaitkan dengan ilmu yng sedang bekerja.

ILMU....

Ilmu
Ilmu adalah sebagian pengetahuan bersifat koheren, empiris, sistematis, dapat diukur, dan dibuktikan. Berbeda dengan iman, yaitu pengetahuan didasarkan atas keyakinan kepada yang gaib dan penghayatan serta pengalaman pribadi. Berbeda dengan pengetahuan, ilmu tidak pernah mengartikan kepingan pengetahuan satu putusan tersendiri, sebaliknya ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang mengacu ke obyek yang sama dan saling berkaitan secara logis. Karena itu, koherensi sistematik adalah hakikat ilmu. Prinsip-prinsip obyek dan hubungan-hubungannya yang tercermin dalam kaitan-kaiatan logis yang dapat dilihat dengan jelas. Bahwa prinsip-prinsip logis yang dapat dilihat dengan jelas.
Bahwa prinsip-prinsip metafisis obyek menyingkapkan dirinya sendiri kepada kita dalam prosedur ilmu secara lamban, didasarkan pada sifat khusus intelek kita yang tidak dapat dicarikan oleh visi ruhani terhadap realitas tetapi oleh berpikir. Ilmu tidak memerlukan kepastian lengkap berkenaan dengan masing-masing penalaran perorangan, sebab ilmu dapat memuat di dalamnya dirinya sendiri hipotesis-hipotesis dan teori-teori yang belum sepenuhnya dimantapan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, terbitan Balai Pustaka, Jakarta, 2001, ilmu artinya adalah pengetahuan atau kepandaian. Dari penjelasan dan beberapa contohnya, maka yang dimaksud pengetahuan atau kepandaian tersebut tidak saja berkenaan dengan masalah keadaan alam, tapi juga termasuk “kebatinan” dan persoalan-persoalan lainnya. Sebagaimana yang sudah kita kenal mengenai beberapa macam nama ilmu, maka tampak dengan jelas bahwa cakupan ilmu sangatlah luas, misalnya ilmu ukur, ilmu bumi, ilmu dagang, ilmu hitung, ilmu silat, ilmu tauhid, ilmu mantek, ilmu batin (kebatinan), ilmu hitam, dan sebagainya.
Sebagai ilustrasi dikisahkan, bertanyalah seorang kawan kepada ahli filsafat yang arif dan bijaksana, “Bagaimana caranya agar saya mendapatkan pengetahuan yang benar? “Mudah saja”, jawab filosof itu, “Ketahuilah apa yang kau tahu dan ketahuilah apa yang kau tidak tahu”. Dari ilustrasi ini dapat digambarkan bahwa pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu dan merupakan hasil proses dari usaha manusia. Beranjak dari pada pengetahuan adalah kebenaran, dan kebenaran adalah pengetahuan, maka di dalam kehidupannya manusia dapat memiliki berbagai pengetahuan dan kebenaran. Sedang ilmu pengetahuan sendiri mempunyai pengertian sebagai hasil usaha pemahaman manusia yang disusun dalam satu sistematika mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum-hukum tentang hal ikhwal yang diselidiinya (alam, manusia, dan juga agama) sejauh yang dapat dijangkau daya pemikiran manusia yang dibantu penginderaannya, yang kebenarannya diuji secara empiris, riset dan experimental.

PERAN FILSAFAT POLITIK UNTUK INDONESIA

1.      Filsafat politik dapat dijadikan alat untuk mengajukan mendefinisikan ulang konsep-konsep dan praktek politik yang telah lama dilakukan di Indonesia, seperti konsep Negara, konsep kekuasaan, konsep otoritas, peran hokum, aspek keadilan di dalam hokum. Dalam bidang hukum misalnya, banyak pelaku korupsi di berbagai bidang lolos begitu saja dari jeratan hukum, karena tidak ada undang-undang yang pas untuk menjeratnya. Filsafat hukum mengajukan proposisi, bahwa  hukum tidak hanya mengacu pada rumusan baku saja, tetapi pada rasa keadilan yang sudah ada di dalam masyarakat. Rumusan hukum harus mengacu pada rasa keadilan. Tanpa keadilan, hukum adalah penindasan. Hukum merupakan terjemahan teknis dari keadilan. Proses mendefinisikan ulang sesuatu membutuhkan kerangka normative dan filsafat yang menyediakan itu. Suatu penilaian haruslah berbasis pada criteria penilaian tertentu dan didalam bidang politik, filsafat politik menyediakan itu. 
2.      Filsafat politik mampu menjadi alat untuk melakukan kritik ideology. Sebuah bangsa mau tidak mau, hidup dalam suatu ideology tertentu. Ideology mencerminkan pandangan dasar yang dianut secara naïf oleh suatu bangsa dan tidak lagi dipertanyakan. Filsafat politik sebagai aktivitas berpikir secara terbuka, rasional, sistematis dan kritis tentang kehidupan bersama, mampu menjadi alat yang kuat untuk membongkar kesesatan-kesesatan berpikir yang ada di dalam ideology tersebut. 
contoh kritik ideology islamisme :
islamisme adalah suatu ideology yang menyatakan dengan tegas bahwa semua kehidupan public dan privat warga Negara haruslah diatur berdasarkan asas-asas islam yang dominan. Filsafat politik bisa mempertanyakan, konsep manusia macam apakah yang dianut oleh islamisme, apakah konsep itu sesuai dengan kondisi yang ada, apakah hanya ada satu islam di Indonesia ini.
Filsafat politik dapat dipandang sebagai pencair dari kebekuan berpikir yang sangat mudah ditemukan di dalam ideology-ideologi.
3.      Filsafat politik mengajukan suatu model tata social politik yang mungkin. Tata soaial politik itu berbasis pada prinsip-prinsip keadilan, kebebasan dan solidaritas.

filsafat politik

Istilah filsafat berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari dua kata yaitu philo dan sophia. Dua kata ini mempunyai arti masing-masing. Philo berarti cinta dalam arti lebih luas atau umum yaitu keinginan, kehendak. Sedangkan Sophia mempunyai arti hikmah, kebijaksanaan, dan kebenaran. Jadi, secara etimologis, filsafat dapat diartikan sebagai cinta akan kebijaksanaan.
Filsafat sebagai bentuk proses berpikir yang sistematis dan radikal mempunyai objek material dan objek formal. Objek material filsafat adalah segala yang ada. Dan segala yang ada mencakup ada yang tampak (visible). Ada yang tampak (visible) di sini adalah dunia empiris artinya yang dapat dialami manusia, sedangkan ada yang tidak tampak adalah dunia ide-ide yang disebut dunia metafisik.
Dalam perkembangan selanjutnya, objek material filsafat dibagi atas tiga bagian yaitu yang ada dalam kenyataan, yang ada dalam pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan. Dan ada pun objek formal filsafat adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal, dan objektif tentang yang ada, agar dapat mencapai hakikatnya, intinya.
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud pada proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Dalam negara seperti Indonesia, kekuasaan negara dibagi atas 3 (tiga) bagian. Pertama, Lembaga Eksekutif oleh Presiden. Kedua, Lembaga Legislatif oleh DPR. Ketiga, Lembaga Yudikatif oleh Mahkamah Agung. Ketiga-tiganya bersifat independen. Artinya tidak saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Politik juga sering dikaitkan dengan hal penyelenggaraan pemerintahan dan negara. Yang menyelenggarakannya bukan rakyat, tetapi pemerintahan yang berkuasa. Hanya saja partisipasi rakyat sangat diharapkan. Tujuannya agar kerja pemerintahan dapat terlaksana dengan baik. Percuma suatu pemerintahan menyelenggarakan negara tanpa dukungan dari rakyat. Karena itu, kerja sama antara keduanya sangat diharapkan. Rakyat menyampaikan aspirasi kepada pemerintahan melalui wakil-wakilnya di Parlemen yang diwakili oleh DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) baik pusat maupun Daerah serta DPD (Dewan Perwakilan Daerah.
suatu upaya  untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan politik secara sistematis, logis, bebas, mendalam, serta menyeluruh. Filsafat Politik berarti pemikiran-pemikiran yang berkaitan tentang politik. Bidang politik merupakan tempat menerapkan ide filsafat. Ada berbagai macam ide-ide filsafat yang ikut mendorong perkembangan politik modern yaitu liberalisme, komunisme, pancasila, dan lain-lain.
Plato, filsafat politik adalah upaya untuk membahas dan menguraikan berbagai segi kehidupan manusia dalam hubungannya dengan negara. Ia menawarkan konsep pemikiran tentang manusia dan negara yang baik dan ia juga mempersoalkan cara yang harus ditempuh untuk mewujudkan konsep pemikiran. Bagi Plato, manusia dan negara memiliki persamaan hakiki. Oleh karena itu, apabila manusia baik negara pun baik dan apabila manusia buruk negara pun buruk. Apabila negara buruk berarti manusianya juga buruk, artinya negara adalah cerminan mansuia yang menjadi warganya.
Machiavelli, filsafat politik adalah ilmu yang menuntut pemikiran dan tindakan yang praktis serta konkrit terutama berhubungan dengan negara. Baginya, negara harus menduduki tempat yang utama dalam kehidupan penguasa. Negara harus menjadi kriteria tertinggi bagi akivitas sang penguasa. Negara harus dilihat dalam dirinya tanpa harus mengacu pada realitas apa pun di luar negara.
Filsafat politik telah lahir semenjak manusia mulai menyadari bahwa tata social kehidupan bersama bukanlah sesuatu yang terberi secara alamiah, melainkan sesuatu yang sangat mungkin terbuka untuk perubahan. Oleh karena itu, tata social ekonomi politik merupakan produk budaya dan memerlukan justifikasi filosofis untuk memeprtahankannya.
Lahirnya suatu refleksi filsafat politik sangat dipengaruhi oleh konteks epistemologis dan matafisika zamannya, sekaligus mempengaruhi zamannya. Jadi, filsafat itu dipengaruhi sekaligus mempengaruhi zamannya. Inilah lingkaran dialektis yang terus menerus berlangsung di dalam sejarah.
Perkembangan di dalam epistemology dan metafisika mempengaruhi asumsi-asumsi yang digunakan oleh para filsuf politik untuk merumuskan pemikirannya. Pada abad pertengahan, banyak filsuf politik mengawinkan refleksi teologi dengan filsafat yunani kuno untuk merumuskan refleksi filsafat politik mereka.
Filsafat politik juga seringkali muncul sebagai tanggapan terhadap situasi krisis zamannya. Pada era pertengahan, tema relasi antara Negara dan agama menjadi tema utama filsafat politik. Pada era modern, tema pertentangan antara kekuasaan absolut dan kekuasaan raja yang dibatasi oleh konstitusi menjadi tema utama refleksi filsafat politik. Pada abad ke-19, pertanyaan tentang bagaimana masyarakat industry harus menata ekonominya, yakni apakah melulu dengan mengacu pada liberalism pasar atau menciptakan Negara kesejahteraan, menjadi tema filsafat politik.
Suatu rumusan filsafat politik memiliki aspek-aspek antropologis yang mendasarinya, aspek antropologis ini menyangkut pemahaman tentang hakikat dari manusia atau karakter dasar dari manusia.